Australia mengumumkan rencananya untuk membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir di bawah kemitraan keamanan Indo-Pasifik dengan Amerika dan Inggris. Perdana Menteri Australia Scott Morrison memberi kepastian soal rencana itu lewat Twitter, dengan mengatakan “kemitraan keamanan trilateral ini memungkinkan kerjasama yang lebih dalam dalam kapabilitas keamanan dan pertahanan.”
Prancis dan China mengecam keras rencana tersebut. Bahkan Presiden Prancis Emmanuel Macron menarik duta besarnya dari Amerika dan Australia.
Australia sejatinya akan menggunakan kapal selam diesel Prancis. Kedua negara telah menandatangani kesepakatan pengadaan 14 kapal selam dengan nilai total $40 miliar. Namun pada Kamis (16/9) Australia membatalkan kesepakatan tersebut dan memilih untuk membangun delapan kapal selam nuklir bersama Amerika. Pembangunan direncanakan dilakukan di Adelaide, kota kosmopolitan di pesisir selatan Australia.
Pengamat: Belum Jelas Tujuan Australia Bangun Kapal Selam Nuklir
Menanggapi proyek kapal selam nuklir Australia, tersebut, pakar hukum internasional di Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Sabtu (18/9), mengakui dirinya tidak mengetahui persis tujuan pemerintah Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir. Akibatnya, tak heran jika kebijakan itu menimbulkan banyak dugaan, termasuk soal apakah kapal selam bertenaga nuklir ini dibangun untuk menjaga kawasan Asia Pasifik, terutama menghadapi tindakan agresif China belakangan ini.
"Kalau kapal-kapal bertenaga nuklir ini akan memasuki wilayah ASEAN akan menjadi problematik karena di lingkungan ASEAN kita punya ZOPFAN. ZOPFAN ini adalah zona bebas nuklir yang ada di Asia Tenggara," kata Hikmahanto.
ASEAN, tambahnya, tentu akan menolak kapal-kapal selam nuklir Australia itu memasuki perairan Asia Tenggara dan hal ini dapat memicu gesekan hubungan antara kedua pihak.
BACA JUGA: China, Prancis Kecam Kesepakatan AS, Inggris Bantu Australia Kembangkan Kapal Selam Tenaga NuklirHikmahanto meyakini negara yang paling menolak keinginan Australia membangun kapal-kapal selam bertenaga nuklir adalah China.
Hikmahanto mengakui pemerintah Indonesia hanya bisa sekadar menyampaikan protes karena rencana Australia memiliki kapal selam nuklir merupakan hak kedaulatannya. Mengingat Indonesia belum mengetahui pasti alasan Australia itu, Indonesia tidak dapat mengambil langkah lebih tegas.
Hikmahanto menyarankan pemerintah Indonesia menggalang komunikasi dan koordinasi dengan negara anggota ASEAN lainnya agar nantinya kapal-kapal selam nuklir Australia tidak memasuki perairan Asia Tenggara. Dan jika terjadi eskalasi ketegangan di Laut China Selatan, Indonesia harus meminta perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Indonesia Cermati Keputusan Australia
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pemerintah Indonesia mencermati dengan penuh kehati-hatian tentang keputusan pemerintah Australia untuk memiliki kapal selam bertenaga nuklir.
Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan.
"Indonesia menekankan pentingnya komitmen Australia terus memenuhi kewajibannya mengenai non-proliferasi nuklir. Indonesia mendorong Australia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk terus mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan secara damai," ujar Faizasyah.
Faizasyah menambahkan Indonesia menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 dalam menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan. Indonesia tambahnya juga mendorong Australia untuk terus memenuhi kewajibannya menjaga perdamaian, stabilitas dan keamanan di kawasan sesuai dengan Treaty of Amity and Cooperation.
Penegasan serupa disampaikan Kemlu lewat Twitter pada 16 September, beberapa saat setelah pengumuman Australia untuk membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir di bawah kemitraan keamanan Indo-Pasifik dengan Amerika dan Inggris. [fw/em]