Rencana penghapusan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pemilihan kepala daerah menurut pengamat bukanlah ide yang baik.
JAKARTA —
Peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai penanganan sengketa pilkada lebih baik tetap dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) daripada oleh pengadilan umum dan Mahkamah Agung, meskipun baru-baru ini telah terjadi kasus suap sengketa pilkada yang menjerat ketua MK nonaktif Akil Mochtar.
Selama ini, lanjutnya, Komisi Yudisial mendata ada sekitar 1.000 lebih hakim nakal di daerah. Apabila kewenangan sengketa pilkada diserahkan ke pengadilan masing-masing, akan lebih sulit mengawasi peradilan sengketa pilkada di berbagai tempat terpisah, ujar Donal.
Dia mengkhawatirkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh pengadilan umum dan Mahkamah Agung justru akan menimbulkan maraknya suap.
“Sengketa pilkada adalah sengketa politik jadi sesungguhnya jika ini dikembalikan ke Mahkamah Agung, proses transaksinya, transaksi politiknya kemudian tawar menawar dengan kelompok tertentu agar saling menekan itu menjadi lebih mudah karena pengalaman di MA pun tidak baik kalau kita lihat,” ujarnya pada akhir pekan lalu.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana akan menghapus kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah.
Penghapusan kewenangan MK ini akan diatur dalam revisi undang-undang pemilihan kepala daerah yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Penanganan sengketa pilkada berdasarkan RUU itu akan dipindah ke pengadilan umum. Sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota akan ditangani di Pengadilan Tinggi, sedangkan sengketa pilkada tingkat provinsi akan diselesaikan di Mahkamah Agung.
Pengamat tata negara dari Universitas Indonesia Refly Harun tidak sepakat jika kewenangan mengadili sengketa pemilukada dikembalikan lagi ke Mahkamah Agung.
“Saya yakin seyakin yakinya jauh lebih baik sengketa pemilukada dibawa ke Mahkamah Konstitusi ketimbang Mahkamah Agung. Kalau ke Mahkamah Agung kemudian diserahkan ke pengadilan tinggi saya kira kontrolnya sama sekali tidak ada,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat menyatakan pemangkasan kewenangan Mahkamah Konstitusi ini untuk menjaga MK dari suap.
“Sekarang waktu MK ini lebih banyak mengurus soal-soal pemilukada. Kalau mengurus atau memutus pemilukada bisa dibuat peradilan lain, tetapi kalau untuk soal konstitusi hanya dia (MK), menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar cuma dia. Agar supaya kehormatannya sebagai lembaga yang begitu penting jangan sampai tercemar oleh kesalahan-kesalahan yang bisa saja mudah terjadi pada saat pemilukada,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan usulan agar penyelesaikan sengketa pemilukada tidak lagi dilakukan oleh MK tidak tekait dengan kasus suap Ketua MK terpilih Akil Mochtar karena usulan revisi tersebut sudah diajukan sejak Januari 2013.
Menurut Gamawan, penanganan sengketa di Mahkamah Konstitusi membutuhkan tenaga dan biaya yang lebih.
Penanganan sengketa di Pengadilan Tinggi akan menekan ongkos terutama di tingkat kabupaten/kota. Bagi Gamawan, kewenangan Mahkamah Konstitusi sebaiknya hanya sebatas menangani kasus sengketa Undang-Undang.
Selama ini, lanjutnya, Komisi Yudisial mendata ada sekitar 1.000 lebih hakim nakal di daerah. Apabila kewenangan sengketa pilkada diserahkan ke pengadilan masing-masing, akan lebih sulit mengawasi peradilan sengketa pilkada di berbagai tempat terpisah, ujar Donal.
Dia mengkhawatirkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh pengadilan umum dan Mahkamah Agung justru akan menimbulkan maraknya suap.
“Sengketa pilkada adalah sengketa politik jadi sesungguhnya jika ini dikembalikan ke Mahkamah Agung, proses transaksinya, transaksi politiknya kemudian tawar menawar dengan kelompok tertentu agar saling menekan itu menjadi lebih mudah karena pengalaman di MA pun tidak baik kalau kita lihat,” ujarnya pada akhir pekan lalu.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana akan menghapus kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah.
Penghapusan kewenangan MK ini akan diatur dalam revisi undang-undang pemilihan kepala daerah yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Penanganan sengketa pilkada berdasarkan RUU itu akan dipindah ke pengadilan umum. Sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota akan ditangani di Pengadilan Tinggi, sedangkan sengketa pilkada tingkat provinsi akan diselesaikan di Mahkamah Agung.
Pengamat tata negara dari Universitas Indonesia Refly Harun tidak sepakat jika kewenangan mengadili sengketa pemilukada dikembalikan lagi ke Mahkamah Agung.
“Saya yakin seyakin yakinya jauh lebih baik sengketa pemilukada dibawa ke Mahkamah Konstitusi ketimbang Mahkamah Agung. Kalau ke Mahkamah Agung kemudian diserahkan ke pengadilan tinggi saya kira kontrolnya sama sekali tidak ada,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat menyatakan pemangkasan kewenangan Mahkamah Konstitusi ini untuk menjaga MK dari suap.
“Sekarang waktu MK ini lebih banyak mengurus soal-soal pemilukada. Kalau mengurus atau memutus pemilukada bisa dibuat peradilan lain, tetapi kalau untuk soal konstitusi hanya dia (MK), menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar cuma dia. Agar supaya kehormatannya sebagai lembaga yang begitu penting jangan sampai tercemar oleh kesalahan-kesalahan yang bisa saja mudah terjadi pada saat pemilukada,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan usulan agar penyelesaikan sengketa pemilukada tidak lagi dilakukan oleh MK tidak tekait dengan kasus suap Ketua MK terpilih Akil Mochtar karena usulan revisi tersebut sudah diajukan sejak Januari 2013.
Menurut Gamawan, penanganan sengketa di Mahkamah Konstitusi membutuhkan tenaga dan biaya yang lebih.
Penanganan sengketa di Pengadilan Tinggi akan menekan ongkos terutama di tingkat kabupaten/kota. Bagi Gamawan, kewenangan Mahkamah Konstitusi sebaiknya hanya sebatas menangani kasus sengketa Undang-Undang.