Made Meita Puspadewi menunjukkan garis-garis di layar laptopnya melalui program bernama Elto Data Logger. Garis itu terbentuk, sebagai hasil dari pengujian rasa dari alat lidah elektronik (e-tongue) yang berada di sampingnya. Oleh alat ini, rasa yang biasa dicecap lidah kita, diwujudkan dalam angka-angka. Melalui sambungan bluetooth, data ditransfer dari lidah elektronik secara real time.
“Kita memakai rasa dasar dulu untuk mengklasifikasi, nanti jika ada sample lain bisa kita klasifikasi lebih dominan rasa apa. Di sini ada MSG untuk rasa umami, lebih ke rasa gurih, lalu ada HCL lebih ke rasa asam, ada juga NaOH untuk rasa pahitnya. Selain itu ada glukosa sebagai rasa manis,” kata Meita.
Meita adalah mahasiswa S2 Ilmu Fisika di Departemen Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Bersama sejumlah mahasiswa lain, Meita mempraktekkan cara kerja lidah elektronik di Laboratorium Fisika Material dan Instrumentasi kampus setempat.
Menempati lantai tiga di sebuah gedung lama, laboratorium ini terbagi dalam beberapa ruang. Tak ada lift, karena itu anak tangga menjadi satu-satunya titian mencapai lantai atas. Sejumlah mahasiswa nampak sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang di dalam laboratorium, bengkel kerja, atau tenggelam di depan layar komputer masing-masing.
Namun, di balik penampilannya yang sederhana, laboratorium ini menyimpan karya luar biasa. Salah satunya adalah alat lidah elektronik, yang diklaim sebagai yang terkecil di dunia. pengembangnya adalah Kuwat Triyono, seorang doktor fisika yang mulai mendalami lidah elektronik di Jepang.
“Ini, sepanjang pengetahuan saya, adalah lidah elektronik terkecil di dunia. lidah elektronik terkecil di dunia itu ada di kita. Kata orang Portugal ini, bahkan yang dia punya saja masih berukuran besar,” kata Kuwat Triyono ketika ditemui di laboratorium.
Sejak 2016 lalu, Kuwat serius mengembangkan alat lidah elektronik. Mahasiswa seperti Meita, turut membantunya dalam riset alat yang ditargetkan sudah akan bisa diproduksi massal tahun depan.
Alat ini diberi nama Elto, dan sedang dalam proses paten. Komponen utamanya adalah larik sensor rasa sebagai elektroda kerja, elektroda referensi, sistem akusisi data, dan sistem kecerdasan buatan (AI). Semua itu terhubung secara nirkabel ke komputer atau ponsel cerdas berbasis Android. Dimensinya hanya 105x73x35 mm dengan dukungan sumber energi satu baterai lithium 3.500 mAH. Ukurannya yang kecil menjadikannya mudah dibawa, dan mampu bertahan hingga 14 jam untuk operasional secara terus menerus.
“Prinsip kerjanya kalau ada sample, harus dalam bentuk cairan. Jadi kalau masih padatan, nanti dicairkan. Mengapa dicairkan, karena nanti bisa terurai menjadi ion. Kemudian dicelupkan sensor. Sensornya ada banyak. Mengapa banyak? Karena kita tidak bisa menerka yang ada di sample ini rasanya apa saja. Dengan sensor yang banyak, yang terbentuk adalah pola, dan pola itu kita ekstrak,” papar Kuwat.
Memiliki Banyak Kelebihan
Elto lahir karena Kuwat yakin bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah alat kecil dengan fungsi beragam, yang mudah disebar di seluruh wilayah. Keprihatinan bahwa banyak instansi tak mampu membeli alat sejenis buatan luar negeri, justru memicu lahirnya kreasi dengan banyak kelebihan.
Menurut Kuwat, Elto memiliki sejumlah keunggulan dibanding alat sejenis yang ada saat ini. Ukurannya yang kecil, bahkan bisa masuk ke dalam saku, adalah terobosan besar yang membuatnya unggul. Alat sejenis, yang dipakai di banyak lembaga dan universitas luar negeri, berukuran besar dan mahal. Satu unit alat yang sama buatan Jepang, rata-rata harganya mencapai Rp 2,5 miliar.
Harga tinggi itu yang melahirkan keprihatinan pada diri Kuwat. Apalagi, dia tahu banyak instansi di Indonesia yang membutuhkan lidah elektronik. Karena itulah, Kuwat meyakini jika produksi massal sudah dilakukan, harga alat ini bisa ditekan hingga hanya Rp 25 juta. Karena itu, murah adalah keunggulan Elto yang lain.
“Saya ingin alat ini bisa tersebar di Puskesmas seluruh Indonesia agar layanannya lebih bagus dan cepat. Juga kepolisian, lembaga halal, industri makanan dan lainnya,” ujar Kuwat.
Meski kecil dan murah, Elto hanya butuh waktu sekitar dua menit untuk menampilkan hasil. Wajar jika Kuwat memastikan, kinerja cepat itu menjadi keunggulan lain yang harus dikemukakan. Meski begitu, akurasinya mencapai 98 persen, dan sudah dikalibrasi di sebuah universitas di Braganca, Portugal.
Manfaat Yang Beragam
Sebagai lidah elektronik, Elto akan berfungsi sesuai dengan peran yang dipilihkan untuk alat itu sendiri sejak awal. Sebelum dipakai untuk tujuan tertentu, Elto harus dilatih terlebih dahulu untuk mengenal aneka produk yang kemungkinan terkait dengan tujuan itu.
Bagi kepolisian, alat ini mampu mendeteksi secara cepat berbagai jenis narkoba hingga tembakau gorilla. Tidak perlu masuk ke laboratorium, polisi di lapangan bisa menguji urine seseorang yang dicurigai menggunakan narkoba. Untuk fungsi ini, Elto akan menyimpan memori mengenai berbagai jenis narkoba, dan akan mengenalinya begitu dilakukan tes.
Bagi industri makanan, alat ini dapat mengetahui kualitas dan keaslian produk. Misalnya, apakah air zam-zam yang dikemas dan dijual di Indonesia benar-benar asli. Bisa juga, kualitas kopi atau teh apakah premium, medium atau biasa. Bagi industri halal, Elto membantu memeriksa kandungan makanan atau minuman dengan cepat dan mudah.
Kuwat juga memaparkan manfaat lain Elto, misalnya dalam perdagangan buah.
“Alat ini memungkinkan kita mengirim rasa ke seluruh penjuru dunia. Kalau ada pembeli salak dari Jepang, misalnya, dia ingin tahu rasa dan kualitas salak, kita tinggal uji rasa di sini, lalu hasilnya dikirim melalui internet, dan pembeli di Jepang sudah akan tahu bagaimana rasa dan kualitas berdasar patokan yang dibuat,” papar Kuwat.
Di bidang kedokteran, Elto juga akan mampu berperan. Saat ini, pengembangan di sektor tersebut terus dilakukan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM. [ns/lt]