UU No 11/2020 atau UU Cipta Kerja menuai kontroversi sejak awal. Ada yang menyambut dengan baik, ada pula yang terus menolaknya sampai saat ini. Namun, di luar soal pro dan kontra itu, Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, justru menilai UU ini terlambat hadir di Indonesia.
Sebagai UU yang digadang-gadang mampu menciptakan ekosistem investasi, kata Tadjuddin, seharusnya dia muncul setidaknya sejak 20 tahun lalu. Penilaian itu dia sampaikan dalam "Telaah UU Cipta Kerja", yang diselenggarakan UGM dan Dewan Pakar Kagama, Selasa (17/11).
“UU ini menurut hemat saya terlambat, dari sudut pandang ilmu saya, pembangunan dan ketenagakerjaan. Harusnya sudah dilakukan sejak mungkin 20 tahun yang lalu, ketika terjadi perubahan yang luar biasa, dalam demografi, angkatan tenaga kerja kita meningkat tajam, peluang kerja meningkat, aliran tenaga kerja dari pertanian menuju ke pekerjaan nonpertanian juga meningkat,” ujar Tadjuddin.
Jika tidak terlambat, maka Indonesia akan memiliki ekosistem investasi pada saat yang tepat dan tidak mengalami keterlambatan transformasi. Secara teoritis dan melihat pengalaman negara-negara berkembang, lanjut Tadjuddin, UU Cipta Kerja seharusnya mengikuti atau beriringan dengan proses peralihan angkatan kerja. Peralihan yang dimaksud adalah dari sektor pertanian menuju industri dan jasa.
“Peralihan kelebihan tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri, akan menyebabkan perubahan sosial yang luar biasa. Dari budaya kerja, upah, jaminan pekerjaan, jaminan hari tua dan seterusnya. Tetapi di negara kita, itu tidak terjadi, karena ekosistem yang sangat penting bagi investasi itu belum ada,” tambah Tadjuddin.
Akibatnya, tranformasi ekonomi Indonesia lambat. Pengalihan tenaga kerja terjadi dari sektor pertanian menuju jasa, dan mayoritas di sektor informal. Buktinya, data BPS pada Agustus 2020 menunjukkan 60 persen tenaga kerja Indonesia ada di sektor informal. Padahal sektor ini berpenghasilan rendah, jam kerja tidak teratur, tidak dilindungi undang-undang, dan tidak mendapat bantuan. Proses transformasi yang terganggu ini, tambah Tadjuddin, menyebabkan angka pengangguran di Indonesia selalu tinggi.
UU Sebagai Strategi Bersaing
Berbicara dalam acara yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan UU Cipta Kerja diharapkan mampu mendorong terciptanya lapangan kerja baru. Ketersediaan itu dimungkinkan dengan hadirnya investasi yang meningkat. Sebagai kompensasi, di sisi lain pemerintah juga meningkatkan perlindungan pekerja.
“Yang dialami sekarang, setiap tahunnya ada 6,9 juta masyarakat membutuhkn kerja, yang dirumahkan ada 3,5 juta, dan tiga juta angkatan kerja anak muda kita terdiri dari lulusan perguruan tinggi 1,7 juta, serta lulusan SMK dan SMA 1,3 juta, sehingga yang demikian perlu diciptakan lapangan pekerjaannya,” kata Airlangga.
Indonesia, kata Airlangga, memiliki 64,19 juta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sebagian besar bergerak di sektor informal. Untuk terus mendorong pertumbuhan, Indonesia perlu menghapuskan regulasi berbelit, yang menjadikan negara ini juara dalam kerumitan berbisnis.
BACA JUGA: UU Cipta Kerja Diteken Jokowi, Pengusaha Senang, Buruh MeradangAirlangga menambahkan, bonus demografi Indonesia harus dimanfaatkan. Di satu sisi, industri tanah air akan sulit bersaing dalam upah murah dengan negara-negara, seperti Bangladesh dan Kamboja. Pada sisi yang berbeda, Indonesia juga akan kesulitan untuk setara dengan negara-negara dengan industri maju yang bersaing dalam kreativitas dan teknologi.
“Dengan UU Cipta Kerja, kita menyelesaikan ini semua dengan kemampuan bersaing berbasis produktivitas, untuk daya saing perekonomian,” tambah Airlangga.
Tiga Jalan Ketidaksetujuan
Pemerintah kini tengah menyusun Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja yang akan terdiri dari 41 Rencana Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Rencana Perpres. Ada 19 kementerian terlibat dalam proses tersebut.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, bagaimanapun UU Cipta Kerja sudah menjadi fakta saat ini. Karena itu, dia menyarankan tiga langkah bagi mereka yang masih menolaknya untuk menyalurkan aspirasi.
Langkah pertama, seperti yang diketahui secara umum adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Yang kedua, kalau memang ada masalah-masalah yang sangat substantif, tetapi tidak lolos di judicial review, karena hanya merupakan pilihan politik hukum, silakan diusulkan untuk legislative review,” ujar Mahfud.
Your browser doesn’t support HTML5
Sedangkan penyelesaian ketiga, tambahnya, pemerintah saat ini tengah menyiapkan tim kerja untuk menampung pendapat-pendapat masyarakat. Aspirasi masyarakat yang masih tersisa, dimasukkan di dalam peraturan perundang-undangan turunan, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah.
“Ada juga yang mengusulkan dibuat saja Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang -red). Itu sekarang belum menjadi opsi pemerintah, karena kalau membuat Perppu, nanti ramainya itu kenapa Perppu hanya mengubah bagian tertentu,” ujar Mahfud. [ns/ab]