Hasil kajian oleh dua universitas ternama AS mengecam penggunaan pesawat tak berawak Amerika di Pakistan karena dinilai sebagai tindakan yang kontra-produktif.
Kajian yang dilakukan Universitas Stanford dan Universitas New York mengatakan, serangan pesawat tak berawak untuk menyerang militan di Pakistan barat laut selain membunuh militan juga warga sipil, mengabaikan aturan hukum internasional, dan dapat memicu serangan militan yang lebih banyak.
Mantan pejabat Pentagon yang kini bekerja untuk American Enterprise Institute, Michael Rubin, mengatakan, sejumlah kecaman atas kematian warga sipil memang terbukti benar. Tetapi, ia mengatakan laporan itu tidak memberi alternatif.
“Pesawat tak berawak digunakan supaya tentara tidak perlu dikerahkan. Jika kita tidak melakukan tindakan, maka tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Selagi beberapa analis mengatakan, CIA memimpin sebagian besar penyerangan dengan persetujuan diam-diam oleh militer Pakistan, serangan-serangan itu telah membuat marah banyak warga Pakistan yang menganggap hal itu sebagai pelanggaran kedaulatan negara mereka.
Presiden Pakistan Asif Ali Zardari yang pekan ini berbicara di PBB, juga mengecam kebijakan itu.
“Tidak ada negara dan rakyat yang paling menderita dalam perjuangan hebat melawan teroris selain Pakistan. Serangan pesawat tak berawak dan korban sipil di wilayah kami telah menambah kerumitan pertempuran kami demi rakyat Pakistan,” tandasnya.
Mengutip Biro Penyelidikan Jurnalisme, laporan itu mengatakan dalam delapan tahun belakangan sedikitnya 470 warga sipil tewas dan 1.200 luka-luka akibat serangan. Ia mengatakan kehadiran pesawat tak berawak yang berkelanjutan telah meneror penduduk setempat.
Laporan itu menyimpulkan, selagi Amerika harus mampu melindungi diri dari ancaman teroris, dampak negatif serangan itu juga berarti bahwa Amerika harus meninjau kembali taktiknya.
Tetapi, Rubin mengatakan, pesawat tak berawak digunakan karena jaringan teroris memang beroperasi di wilayah tersebut.
“Jika Pakistan menguasai wilayahnya secara lebih baik dan mencegah negaranya digunakan sebagai tempat berlindung oleh militan, maka serangan pesawat tak berawak tidak akan terjadi,” kilahnya.
Laporan berjudul "Living Under Drones" dibuat berdasarkan sembilan bulan penelitian dan 130 lebih wawancara dengan para korban, saksi, ahli, dan laporan-laporan media.
Mantan pejabat Pentagon yang kini bekerja untuk American Enterprise Institute, Michael Rubin, mengatakan, sejumlah kecaman atas kematian warga sipil memang terbukti benar. Tetapi, ia mengatakan laporan itu tidak memberi alternatif.
“Pesawat tak berawak digunakan supaya tentara tidak perlu dikerahkan. Jika kita tidak melakukan tindakan, maka tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Selagi beberapa analis mengatakan, CIA memimpin sebagian besar penyerangan dengan persetujuan diam-diam oleh militer Pakistan, serangan-serangan itu telah membuat marah banyak warga Pakistan yang menganggap hal itu sebagai pelanggaran kedaulatan negara mereka.
Presiden Pakistan Asif Ali Zardari yang pekan ini berbicara di PBB, juga mengecam kebijakan itu.
“Tidak ada negara dan rakyat yang paling menderita dalam perjuangan hebat melawan teroris selain Pakistan. Serangan pesawat tak berawak dan korban sipil di wilayah kami telah menambah kerumitan pertempuran kami demi rakyat Pakistan,” tandasnya.
Mengutip Biro Penyelidikan Jurnalisme, laporan itu mengatakan dalam delapan tahun belakangan sedikitnya 470 warga sipil tewas dan 1.200 luka-luka akibat serangan. Ia mengatakan kehadiran pesawat tak berawak yang berkelanjutan telah meneror penduduk setempat.
Laporan itu menyimpulkan, selagi Amerika harus mampu melindungi diri dari ancaman teroris, dampak negatif serangan itu juga berarti bahwa Amerika harus meninjau kembali taktiknya.
Tetapi, Rubin mengatakan, pesawat tak berawak digunakan karena jaringan teroris memang beroperasi di wilayah tersebut.
“Jika Pakistan menguasai wilayahnya secara lebih baik dan mencegah negaranya digunakan sebagai tempat berlindung oleh militan, maka serangan pesawat tak berawak tidak akan terjadi,” kilahnya.
Laporan berjudul "Living Under Drones" dibuat berdasarkan sembilan bulan penelitian dan 130 lebih wawancara dengan para korban, saksi, ahli, dan laporan-laporan media.