Rencana pemerintah menaikkan penghasilan tidak kena pajak dari 1,3 juta rupiah menjadi dua juta rupiah per bulan menuai beragam reaksi.
Reaksi tersebut antara lain dari Deddy Rudaedy, Direktur Penyuluhan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak yang menilai kebijakan tersebut membuat pihak Ditjen Pajak harus lebih disiplin terhadap wajib pajak lainnya agar target pajak tidak terganggu.
Kepada pers di Jakarta, Jum’at (4/5), Deddy Rudaedy berpendapat Ditjen Pajak sangat menghargai rencana pemerintah bertujuan meringankan beban hidup masyarakat berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan, termasuk untuk para buruh. Namun diakuinya Ditjen Pajak harus berupaya dapat menutup berkurangnya pendapatan pajak jika kebijakan tersebut diterapkan.
Diprediksi target pendapatan negara melalui pajak akan berkurang sekitar 12 triliun rupiah hingga 15 triliun rupiah karena dihapusnya kewajiban pajak bagi masyarakat berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan.
“Pajak itu memiliki dua fungsi yaitu fungsi budgeter dan fungusi regular yang satu sama lain mungkin bisa kontradiktif. Dari fungsi budgeter, mungkin ini akan mempunyai pengaruh terhadap penerimaan, jadi akan mengurangi atau ada potential lost daripada penerimaan pajak dari segi budgeter untuk mengisi pundit-pundi. Tentu Direktorat Jenderal Pajak harus berpikir bagaimana supaya potential lost ini kita bisa eliminir,” kata Deddy Rudaedy.
Target pendapatan negara melalui pajak tahun ini sebesar 1.032 triliun rupiah, naik dibanding realisasi pajak tahun lalu sebesar 872 triliun rupiah. Pemerintah terus berusaha agar mampu mencapai target tersebut melalui berbagai cara, diantaranya terus menghimbau agar masyarakat membayar pajak pribadi termasuk bagi mereka yang berpenghasilan di atas 1,3 juta rupiah per bulan hingga pungutan pajak juga diberlakukan bagi warung makan sederhana.
Namun beberapa waktu lalu pemerintah menegaskan akan mengubah kebijakan terkait pajak diantaranya menaikkan penghasilan tidak kena pajak.
Dalam kesempatan berbeda, Menko bidang Kesejahtaraan Rakyat, Agung Laksono menilai rencana pemerintah menghapus pajak untuk para buruh berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan harus didukung.
Untuk menghindari adanya kemungkinan timbulnya dampak negatif akibat dikeluarkannya sebuah kebijakan baru, Menkokesra, Agung Laksono mengingatkan kebijakan tersebut harus mengacu pada berbagai aspek diantaranya kemampuan anggaran negara serta perbedaan pendapatan buruh antar satu daerah dengan daerah lain.
“Suatu pemikiran yang sangat wajar dikaitkan dengan upah yang layak. Hanya memang harus dipertimbangkan segala sesuatunya dalam kondisi realitas bangsa kita yang masih ada disparitas antara satu daerah dengan daerah yang lain terhadap perusahaan kecil, perusahaan menengah, perusahaan besar," ujar Agung Laksono.
Menurutnya hal tersebut harus dapat diakomodasi sedemikian rupa sehingga bisa diimplementasikan dengan baik. "Jangan sampai membuat peraturan baru tapi kemudian ada masalah,” ungkapnya.
Menkokesra, Agung Laksono menegaskan meski pemerintah terus berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan yang berpihak kepada buruh, revisi terhadap Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja adalah solusi terbaik agar tercipta keadilan bagi buruh.
"Jawaban yang paling baik adalah melakukan amandemen terhadap Undang-Undang nomor 13, saya kira undang-undang ini tidak bisa dibuat secara sepihak oleh pemerintah saja tapi juga oleh parlemen, parlemen mewakili rakyat, saya kira harus dua belah pihak,” kata Menkokesra.
Kepada pers di Jakarta, Jum’at (4/5), Deddy Rudaedy berpendapat Ditjen Pajak sangat menghargai rencana pemerintah bertujuan meringankan beban hidup masyarakat berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan, termasuk untuk para buruh. Namun diakuinya Ditjen Pajak harus berupaya dapat menutup berkurangnya pendapatan pajak jika kebijakan tersebut diterapkan.
Diprediksi target pendapatan negara melalui pajak akan berkurang sekitar 12 triliun rupiah hingga 15 triliun rupiah karena dihapusnya kewajiban pajak bagi masyarakat berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan.
“Pajak itu memiliki dua fungsi yaitu fungsi budgeter dan fungusi regular yang satu sama lain mungkin bisa kontradiktif. Dari fungsi budgeter, mungkin ini akan mempunyai pengaruh terhadap penerimaan, jadi akan mengurangi atau ada potential lost daripada penerimaan pajak dari segi budgeter untuk mengisi pundit-pundi. Tentu Direktorat Jenderal Pajak harus berpikir bagaimana supaya potential lost ini kita bisa eliminir,” kata Deddy Rudaedy.
Target pendapatan negara melalui pajak tahun ini sebesar 1.032 triliun rupiah, naik dibanding realisasi pajak tahun lalu sebesar 872 triliun rupiah. Pemerintah terus berusaha agar mampu mencapai target tersebut melalui berbagai cara, diantaranya terus menghimbau agar masyarakat membayar pajak pribadi termasuk bagi mereka yang berpenghasilan di atas 1,3 juta rupiah per bulan hingga pungutan pajak juga diberlakukan bagi warung makan sederhana.
Namun beberapa waktu lalu pemerintah menegaskan akan mengubah kebijakan terkait pajak diantaranya menaikkan penghasilan tidak kena pajak.
Dalam kesempatan berbeda, Menko bidang Kesejahtaraan Rakyat, Agung Laksono menilai rencana pemerintah menghapus pajak untuk para buruh berpenghasilan maksimal dua juta rupiah per bulan harus didukung.
Untuk menghindari adanya kemungkinan timbulnya dampak negatif akibat dikeluarkannya sebuah kebijakan baru, Menkokesra, Agung Laksono mengingatkan kebijakan tersebut harus mengacu pada berbagai aspek diantaranya kemampuan anggaran negara serta perbedaan pendapatan buruh antar satu daerah dengan daerah lain.
“Suatu pemikiran yang sangat wajar dikaitkan dengan upah yang layak. Hanya memang harus dipertimbangkan segala sesuatunya dalam kondisi realitas bangsa kita yang masih ada disparitas antara satu daerah dengan daerah yang lain terhadap perusahaan kecil, perusahaan menengah, perusahaan besar," ujar Agung Laksono.
Menurutnya hal tersebut harus dapat diakomodasi sedemikian rupa sehingga bisa diimplementasikan dengan baik. "Jangan sampai membuat peraturan baru tapi kemudian ada masalah,” ungkapnya.
Menkokesra, Agung Laksono menegaskan meski pemerintah terus berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan yang berpihak kepada buruh, revisi terhadap Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja adalah solusi terbaik agar tercipta keadilan bagi buruh.
"Jawaban yang paling baik adalah melakukan amandemen terhadap Undang-Undang nomor 13, saya kira undang-undang ini tidak bisa dibuat secara sepihak oleh pemerintah saja tapi juga oleh parlemen, parlemen mewakili rakyat, saya kira harus dua belah pihak,” kata Menkokesra.