Kolom agama di KTP mungkin tidak banyak kita perhatikan. Namun bagi Tuti Ekawati, kolom itu merangkum kisah jati diri dan diskriminasi.
Perempuan yang tinggal di Bandung ini adalah penganut kepercayaan Budidaya. Dia menceritakan pengalamannya sakit namun terkendala administrasi rumah sakit.
“Yang tadinya sakit ingin cepat ditangani harus berbelit dengan identitas, karena di formnya tidak ada tercantum di luar yang agama yang enam itu,” tuturnya kepada VOA.
BACA JUGA: Penghayat Kepercayaan: Setelah Putusan MK dan Kolom KTP“Lah kita harus kemana. Akhirnya kan petugas juga tidak salah, ‘bu, ini saya bagiamana? Ibu harus tetap pilih salah satu’. Ini kan lucu,” kisahnya usai diskusi publik di Bandung, Senin (1/4) pagi.
Menganut kepercayaan juga membuatnya sulit mengakses layanan pendidikan, perbankan, dan membuat surat kelakuan baik. Sebab dia harus mengisi formulir dengan kolom agama. Sayangnya hanya ada 6 agama yang difasilitasi pemerintah.
Penghayat Baru Diakui pada 2017
Penganut kepercayaan di Indonesia mengalami diskriminasi berkepanjangan. Sejak Indonesia merdeka, penganut kepercayaan tidak pernah bisa menunjukkan jati dirinya di KTP. Pada masa Orde Baru, tak sedikit penghayat yang ‘terpaksa’ memilih 5 agama (jadi 6 pada masa Gus Dur) dari pemerintah.
Pada 2013, pemerintah membolehkan penganut agama leluhur mencantumkan strip di kolom agama KTP atau mengosongkannya. Organisasi penghayat menilai kebijakan itu diskriminatif sehingga menggugatnya ke MK. Hasilnya, penghayat boleh mencantumkan kepercayaan di kartu identitas.
Namun, ujar Tuti yang juga Wakil Ketua Puan Hayati, pelaksanaan di lapangan masih diskriminatif. Dia mencontohkan, warga penghayat yang ingin merevisi KTP-nya masih bertemu dengan petugas yang tidak tahu keputusan MK.
“Jadi sangat tergantung (petugas) juga, belum seragam maksudnya. Karena sangat bergantung pada aparat di lapangan,” jelasnya.
Dia menuturkan, ada pula petugas yang punya stigma terhadap penghayat sehingga terkesan tidak mau melayani.
“Ada yang secara pribadi sudah tahu aturan tapi terkesan ‘oh form-nya habis, belum tercetak’ 1001 alasan karena mungkin tidak mengerti. Mungkin ada kepentingan pribadi, itu tidak bisa dipungkiri,” tuturnya lagi.
Usai Revisi KTP, Masalah Administrasi Masih Banyak
Ketua Puan Hayati, Dian Jennie, mengatakan sejumlah komunitas penghayat telah merevisi KTP secara kolektif. Hal ini dilakukan di Surabaya (80-an orang), Semarang (400-an orang) dan sejumlah kota lain. Cara kolektif ini dinilai lebih berhasil ketimbang mengurus sendiri-sendiri.
“Buat saya kolektif itu lebih baik, karena itu mengurangi beban warga daerah yang tidak tahu bagaimana cara teknis mengisi form-form itu. Karena menurut saya formulirnya cukup ribet. Sehingga ini perlu orang yang punya kapasitas dan meluangkan waktu untuk hal ini,” jelas Dian dalam kesempatan yang sama.
Namun, usai merevisi kolom agama KTP pun, penghayat masih menghadapi kendala administrasi layanan publik. Formulir-formulir di berbagai layanan publik, ujarnya, hanya menyediakan 6 pilihan agama.
“Jadi perubahan layanan adminduk, perubahan data ini, akan jadi sesuatu yang tidak berguna dan tidak berdampak apabila ini tidak mengubah pola, cara pandang, stigma akan keberadaan penghayat dalam pelayanan yang lain,” ucapnya.
Kelompok Sipil Serukan Harmonisasi Formulir
Selviana Yolanda dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) mendorong harmonisasi sistem administrasi secara nasional. Pemerintah perlu mendorong sektor pendidikan, kesehatan, perbankan, dan lainnya, menyediakan kolom bagi penghayat.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Cimahi, Jawa Barat, akan menyurati berbagai lembaga terkait revisi formulir itu. Menurut Yolanda, inisiatif ini harus didukung edaran walikota, gubernur, bahkan pemerintah pusat.
“Tapi kalau itu di tingkat walikota, bupati atau gubernur, itu jauh lebih kuat ya. Bahkan sampai di sekolah-sekolah, bahan ajar dan segalanya itu bisa diselaraskan. Pilihan agama itu tidak hanya yang terbatas enam tapi kepercayaan juga dimasukan,” jelasnya.
ANBTI juga mendorong pemerintah melakukan sosialisasi lebih intensif kepada aparatnya sehingga tidak terjadi kerancuan di lapangan.
Disdukcapil Berkomitmen Perbaiki Layanan
Usai mendengar keluhan dari penghayat, Indriastuti Chandra dari Disdukcapil Jawa Barat mendorong sosialisasi bersama penghayat dan pemerintah kepada dinas terkait. Kelompok penghayat bisa diwakili Puan Hayati atau Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI)
“Kami tetap diundang untuk penguatan, karena kami yang terlebih dahulu. Meski kami juga harus diberikan pemahaman. Kemudian yang diperlukan, dinkes, disdik, perbankan, perwakilan nanti. Tinggal bersurat saja,” ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara di lapangan, Indri berkomitmen memperbaiki pelayanan. Dia mengatakan penghayat yang ingin merevisi KTP bisa langsung datang ke kantor Disdukcapil kota/kabupaten, tidak perlu melalui RT/RW lagi. Penghayat bisa langsung bertemu dengan kepala bidang pelayanan pendaftaran penduduk atau kepala seksi identitas penduduk.
“Tidak lagi ditangani yang di depan (loket). Bukan nggak percaya. Karena tugas kami juga bertanya di front office ini tidak semua pemahamannya sama, kompetensinya berbeda-beda, multitafsir juga iya. Ini tugas berat kami juga,” jelasnya. (rt/em)