VOA - Qasem yang berstatus pengungsi asal Afghanistan telah berada di Indonesia selama enam tahun. Namun, pada Senin 26 Oktober 2020, Qasem ditemukan tewas gantung diri di dalam kamar hunian Rudenim Medan. Berdasarkan kronologis dari pihak Rudenim Medan, Qasim yang seorang diri di kamar itu ditemukan tewas dalam keadaan tergantung pada jeruji besi ventilasi sekitar pukul 10 pagi WIB. Pihak Rudenim Medan menyimpulkan Qasem tewas karena bunuh diri.
Sebelum ditemukan gantung diri, Qasem terlibat perkelahian dengan sesama pengungsi asal Afghanistan bernama Amir di rumah penampungan para pencari suaka di “My Mansion” Jalan Dr Mansyur Kota Medan. Usai terlibat perkelahian keduanya pun dibawa ke Rudenim Medan di Belawan pada Jumat 23 Oktober 2020.
Jafar Hossain, sepupu Qasem, mengatakan kepada VOA, kerabatnya itu mengeluh kesakitan pada bagian kepala lantaran mendapat pukulan dari Amir pada saat perkelahian. Namun, pihak Rudenim tak menggubris keluhan Qasem tersebut.
Kegiatan inteview online oleh pihak IOM Jakarta dengan deteni kewarganegaraan Iran, di Redunim Medan
“Dilihat dari kamera CCTV, Amir menyerang dan meninju kepala Qasem lima hingga enam kali. Kemudian, penjaga 'My Mansion' memanggil pihak imigrasi. Petugas imigrasi datang tanpa memeriksa kamera CCTV, dan langsung membawa Qasem dan Amir. Qasem tiga kali berkata kepada petugas imigrasi bahwa kepalanya sakit, tapi mereka mengabaikannya dan mendorongnya masuk ke dalam mobil,” kata Jafar kepada VOA, Jumat (11/12).
Tiga hari berselang, Qasem ditemukan tewas gantung diri. Namun, Jafar tak percaya bahwa Qasem tewas bunuh diri. Jafar menuturkan banyak kejanggalan dalam kematian Qasem. Sebuah foto yang diperolehnya dari sesama pengungsi menunjukkan bahwa ada kejanggalan dari kematian Qasem, mulai dari lutut yang menyentuh lantai, dan lidah tak menjulur keluar layaknya orang tewas gantung diri. Jafar menduga kematian Qasem seperti direkayasa karena untuk menghindari tanggung jawab lantaran tak memenuhi kebutuhan medisnya.
“Saya tidak percaya Qasem bunuh diri, karena dia tak ada memiliki masalah. Bukan hanya saya, semua pengungsi di Medan juga tidak percaya bahwa Qasem bunuh diri. Sehari sebelum Qasem meninggal, dia sempat telepon teman sesama pengungsi dan berkata kepalanya sakit serta meminta agar temannya itu membawa uang. Esok harinya, temannya itu datang ke Rudenim dan belum sempat masuk, petugas bilang Qasem telah bunuh diri. Kata pihak Rudenim mereka cek pada pukul 07.30 WIB dan Qasem masih hidup, namun meninggal pada pukul 10.00 WIB. Saya pikir jika orang ingin bunuh diri di malam hari bukan pagi setelah pukul 07.30 WIB,” tuturnya.
Lanjut Jafar, dugaan rekayasa kematian Qasem diperkuat lantaran dirinya sampai saat ini tak mendapatkan hasil autopsi dari pihak kepolisian.
“Sudah 45 hari setelah kematian Qasem namun saya juga belum mendapatkan laporan hasil autopsi. Permintaan saya kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), International Organization For Migration (IOMM), imigrasi, dan pemerintah Indonesia adalah untuk mengklarifikasi kasus kematian Qasem dan menghukum para pelakunya,” ujarnya.
Ada Perlakuan Tak Semestinya
Salah satu pengungsi asal Afghanistan di Medan, John (bukan nama sebenarnya) mengatakan kepada VOA, ada perlakuan yang harusnya tak dilakukan pihak Rudenim terhadap Qasem sehari sebelum ditemukan tewas. Mereka meminta sejumlah uang kepada Qasem agar bisa keluar dari Rudenim tersebut.
“Mereka (petugas Rudenim) suruh Qasem menyerahkan uang Rp1 juta. Lalu, Qasem menyuruh temannya untuk datang membawa uang agar dia bisa keluar. Senin pagi teman Qasem datang membawa uang tersebut. Namun, teman Qasem melihat di situ ada ambulans dan imigrasi bilang tidak boleh masuk dan mengusirnya,” ungkapnya.
John juga tak memercayai bahwa Qasem tewas bunuh diri. Bahkan John menuding bahwa pihak Rudenim Medan tak memedulikan Qasem yang mengeluh kesakitan pada bagian kepala usai terlibat perkelahian.
“Kami di sini tidak percaya dia bunuh diri. Semua pengungsi di sini tahu bagaimana pribadinya, dia anak baik, dia tidak punya masalah. Dia tidak mungkin bunuh diri. Foto-foto (bukti) yang dari imigrasi membuktikan bahwa lidah Qasem tidak keluar. Tapi itu foto-foto dari polisi itu lidahnya baru keluar (menjulur). Itu bagaimana? Kalau orang bunuh diri lidahnya langsung keluar saat pertama kali ditemukan,” ucapnya.
“Beberapa hari di sana mereka enggak kasih Qasim perawatan. Kami sudah tanya tim medis dari imigrasi dan petugas Rudenim tak memberitahu bahwa Qasim sedang sakit,” tambahnya.
Polisi: Otopsi Menunjukkan Korban Mati Lemas Akibat Bunuh Diri
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan, AKP I Kadek H Cahyadi mengatakan berdasarkan hasil autopsi tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada jenazah Qasem.
“Berdasarkan hasil autopsi yang kami peroleh dari Rumah Sakit Bhayangkara Medan. Kami mendapatkan kesimpulan dari tubuh jenazah tidak ada tanda-tanda kekerasan dan yang berikutnya penyebab kematian korban adalah mati lemas akibat gantung diri. Mengenai lutut di lantai. Lututnya masih ada jarak dengan lantai dari foto tersebut. Namun dengan tergantungnya dari atas hingga tidak menyentuh lantai, terlihat sudah cukup (untuk bunuh diri) dan membuat lidahnya keluar. Semua berdasarkan hasil autopsi, mati lemas akibat tergantung,” kata Kadek saat diwawancarai pada akhir November 2020.
Saat ditanya terkait adanya motif lain terkait kematian Qasem seperti dugaan pembunuhan, Kadek menyebut belum bisa menyimpulkan hal tersebut. “Sampai saat ini kami belum bisa menyimpulkan hingga seperti itu (ada rekayasa atau tidak). Hingga saat ini kami hanya bisa simpulkan korban mati tergantung karena bunuh diri berdasarkan hasil autopsi,” jelasnya.
Di sisi lain, sampai laporan ini disusun pihak Rudenim Medan belum memberikan keterangan apa pun terkait kasus kematian pengungsi asal Afghanistan ini. Kepala Rudenim Medan, Vincentius Purwo Hendratmoko beberapa kali telah dihubungi VOA namun belum bersedia diwawancarai.
“Saya sedang dinas di Jakarta,” ujarnya. [aa/em]