Amir Bahoduri, bocah Afghanistan berusia 11 tahun itu sedang bercanda dengan anak-anak lainnya di tenda terpal pada Sabtu (15/6/2019) siang. Ia tinggal dengan orang tua dan kakak perempuannya bersama 30an pengungsi lainnya asal Afghanistan di Kalideres, seberang Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta.
Lewat seorang penerjemah, Amir mengatakan dulu ia dan temannya kerap bermain sepak bola, namun kini sudah tidak bisa bermain lagi karena sudah tidak ada bola lagi. Ia juga merasa tidak nyaman saat tidur pada malah hari karena takut ada binatang berbahaya yang masuk ke tenda.
"Di sini terkadang hujan, ada ular dan banyak tikus. Banyak suara mobil dan motor di sini kalau malam tidak berhenti suaranya," tutur Amir di tenda seberang Rudenim Jakarta di Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (15/6/2019).
BACA JUGA: Perjuangan Pengungsi di Indonesia Masih PanjangAmir mengeluhkan gangguan pernapasan setelah hampir setahun tinggal di tenda terpal pinggir jalan raya tersebut. Ia berharap situasi seperti ini segera berakhir dan dapat sekolah di negara yang aman.
Ayah Amir, Habibulloh Bahoduri menceritakan ia bersama istri dan kedua anaknya terpaksa meninggalkan Afghanistan pada tahun 2018 karena takut dibunuh oleh teroris. Ia beralasan teroris tidak suka dengan keluarganya yang termasuk keluarga Hazara.
"Kita naik pesawat ke India, lalu ke Malaysia dan lanjut ke Indonesia. Kita berempat membayar 17 ribu dolar AS. Waktu itu kami ingin mencari tempat yang aman saja dan kabur dari Afghanistan," jelas Habibulloh.
Habibulloh yang pernah memiliki toko baju di Afghanistan sudah tidak dapat bekerja lagi selama mengungsi di Indonesia. Ia bersama keluarganya hanya hidup dari belas kasihan warga sekitar dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Karena itulah, istri Habibulloh, berharap agar suaminya dapat diizinkan bekerja di pengungsian untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Sebab, ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika anak-anaknya jatuh sakit.
"Susah, kita tidur di bawah tenda, tungguin makanan dari bagi-bagi itu. Makan di sana (tenda), mandi di sini (masjid). Anaknya kadang sakit, sembuh lagi. Saya sakit tenggorokan ada masalah dan jantungnya juga," kata Fatimah.
Your browser doesn’t support HTML5
Ali Reza, Lahir di Pengungsian di Iran, ke Afghanistan & Kini ke Indonesia
Tidak jauh berbeda, Ali Reza (30 tahun) warga Afghanistan juga terpaksa meninggalkan negaranya karena takut dibunuh teroris. Menurutnya, keluarga besarnya sudah telah hampir 40 tahun menjadi pengungsi di negara lain.
Reza lahir di Iran saat keluarganya mengungsi ke Iran. Ia mengatakan hanya dapat menempuh pendidikan dasar selama 8 tahun di Iran. Reza lantas bekerja sejak usia 13 tahun karena tidak diperbolehkan menempuh pendidikan tinggi di negara setempat. Namun, Reza pada akhirnya diekstradisi ke Afghanistan sebelum akhirnya ia memutuskan kembali mengungsi karena takut dengan terorisme.
"Saya ngomong dengan agen, dia kirim aku ke Indonesia. Katanya mau kirim ke Australia. Saya membayar uang sebesar 6.000 USD untuk keluar Afghanistan," jelas Ali Reza.
Sesampai di Indonesia, Reza sempat menyewa rumah dan menjual kue untuk para pengungsi Afghanistan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, karena sakit, uang simpanan hasil kerja di Iran akhirnya habis. Reza kemudian memutuskan mengungsi ke sekitar Rudenim Jakarta untuk melanjutkan hidup.
"Sehari makan kadang-kadang 2-3 kali, kadang kalau ada barokah bisa 4 kali. Tapi kadang-kadang juga pernah 2 hari belum makan," tambah Reza.
Reza, keluarga Habibulloh dan puluhan pengungsi Afghanistan kini hanya dapat berharap bantuan dari organisasi pemerhati seperti Organisasi Migrasi Internasional (IOM), Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) dan pemerintah Indonesia. Terlebih, jika nantinya dapat mendapat kewarganegaraan dari negara manapun yang aman bagi mereka dan keluarganya.
"Saya mau dapat warga negara baru, seperti manusia lain, dapat kerja, pergi kerja, malam balik. Malam makan dengan keluarga. Sekarang belum seperti manusia, jauh-jauh sekali," pungkas Reza. [sm/em]
Your browser doesn’t support HTML5