Pengusaha Cemaskan Dampak Pajak Rokok Elektrik terhadap Industri

Seorang pria mengembuskan asap rokok elektronik. Kementerian Keuangan memberlakukan pajak vape sebesar 10 persen dari cukai rokok per 1 Januari 2024. (Foto: Reuters)

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi memberlakukan pajak untuk rokok elektrik per 1 Januari 2024. Kalangan pengusaha pun meradang karena merasa tidak ada sosialisasi.

Para pengusaha rokok elektrik menilai keputusan pemerintah untuk menerapkan pajak 10 persen dari cukai rokok pada rokok elektrik atau vape per 1 Januari 2024 akan menjadi pukulan berat pada industri mereka. Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita menyatakan aturan baru tersebut akan memberikan tiga tekanan sekaligus bagi industrinya, yakni kenaikan cukai 15 persen, kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) dan pajak.

Selain itu, Garindra juga menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang salah satunya mengatur masalah pajak rokok konvensional.

“Kita ada rencana mau tempuh jalur hukum, karena kita melihat dasar hukumnya kurang kuat, seperti single perception by Kemenkeu. Di sisi lain kalau memang ini harus tetap kita jalankan, harapan kami jangan sampai di 2025 kami diberikan beban kenaikan cukai lagi, karena nanti industrinya tidak survive,” kata Garindra, Sabtu (6/1).

Sejumlah rokok elektrik dipajang di sebuah toko. (Foto: AP)

Sebelumnya Kementerian Keuangan memberlakukan pajak vape sebesar 10 persen dari cukai rokok per 1 Januari 2024 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok. Pemerintah mengatakan kebijakan tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman pada Selasa (2/1) mengatakan penerapan pajak untuk rokok elektrik tersebut lebih kepada untuk memberikan keadilan daripada soal penerimaan negara. Estimasi penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan hanya sekitar Rp175 miliar atau 10 persen dari cukai rokok elektrik pada 2023 yang mencapai Rp1,75 triliun. Penerimaan cukai dari rokok elektrik juga hanya 0,82 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau (CHT).

Lebih lanjut Ganindra menuturkan amandeman Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menyebutkan bahwa rokok yang terkena pajak meliputi cigarette, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya. Ia menekankan bahwa merujuk pada aturan tersebut Kemenkeu dinilai memiliki persepsi yang keliru karena menganggap bentuk rokok lainnya adalah vape.

“Kemudian, pemberlakuan pajak rokok yang 1 Januari 2024 itu diterbitkan melalui PMK No 143 Tahun 2023. Nah PMK ini merujuknya ke UU tersebut. Menafsirkan bahwa yang disebut sebagai bentuk rokok lainnya itu termasuk rokok elektrik,” ungkap Ganindra.

BACA JUGA: Australia akan Larang Penjualan Vape Bebas

Ia pun menyayangkan hal tersebut, pasalnya dalam penggodokan UU Nomor 1 Tahun 2022, pihaknya sama sekali tidak diundang dalam tahap sosialisasi dan berdiskusi. Pihak Kemenkeu pun, kata Garindra, berkilah bahwa seharusnya pihak DPR lah yang harus melakukan sosialisasi mengenai regulasi tersebut. Namun, ia merasa wajar pihak parlemen tidak mengundang seluruh elemen dari rokok elektrik karena dalam UU tersebut sama sekali tidak menyebutkan kata rokok elektrik.

“Jadi memang saat itu UU dibuat bukan untuk rokok elektrik. Lalu ada penafsiran tersendiri dari Kemenkeu bahwa yang disebut bentuk rokok lainnya merupakan rokok elektrik. Nah ini yang kami tidak bisa terima, karena dasarnya menurut kami kurang kuat,” tegasnya.

Kalangan pengusaha rokok elektrik, kata Garindra, baru mengetahui rencana pemberlakukan pajak tersebut pada 28 November 2023. Pihaknya pun telah melakukan audiensi dengan pihak Dirjen Perimbangan Kemenkeu dengan harapan bahwa pemberlakukan pajak untuk rokok elektrik ini diundur. Namun nyatanya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap bersikeras bahwa aturan tersebut diterapkan tepat 1 Januari 2024.

Seorang karyawan toko rokok elektrik di Jakarta, 23 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Rokok Elektrik Lebih Aman?

Sementara itu, spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Erlina Burhan menuturkan bahwa banyak masyarakat menganggap rokok elektrik ini lebih aman daripada rokok konvensional. Padahal nyatanya, keduanya sama-sama berbahaya.

“Mungkin less harmful than conventional cigarette (kurang berbahaya dibandingkan rokok konvensional -red). Tapi dia nggak aman karena dia mengandung nikotin yang kita tahu bahwa nikotin itu zat adiktif, zat yang bisa menimbulkan kecanduan dan mereka juga memakai zat-zat kimia. Terutama zat perasa itu kimia dan zat kimia itu kalau terus menerus kita hirup itu kan bisa berbahaya buat organ-organ,” ungkap dr Erlina.

Meskipun tidak memiliki data spesifik, banyak penyakit pernapasan yang disebabkan oleh rokok elektrik. Selain itu, rokok elektrik ini juga dapat menurunkan fungsi paru yang kemudian dalam jangka panjang juga berpotensi terkena kanker.

“Secara umum menurunkan fungsi paru, karena fungsi paru menurun jadi mudah terinfeksi penyakit lain, mudah kena bakteri, kuman, virus dan juga sebetulnya akan berdampak seringnya pada orang-orang yang memiliki penyakit asma karena zat-zat itu bisa memicu serangan dan ujungnya bisa menjadi kanker,” pungkasnya. [gi/ah]