Peningkatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China Jadi Isu Panas di KTT Vientiane

Upacara pembukaan KTT ASEAN ke-44 pada 9 Oktober 2024, Vientiane, Laos.

Saat Laos menjadi tuan rumah KTT ASEAN tahun ini, China menyerukan peningkatan perjanjian perdagangan bebasnya dengan negara-negara ASEAN yang dipusatkan pada kota pintar, 5G, kecerdasan buatan, dan e-commerce.

Menjelang KTT yang berlangsung pada tanggal 6-11 Oktober, media pemerintah China meningkatkan upaya untuk mempromosikan manfaat positif dari peningkatan Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA). Chinadaily.com.cn misalya menulis berita utama betapa CAFTA 3.0 memperkuat hubungan ekonomi China-ASEAN.

Analis : “CAFTA 3.0” Masih Harus Dikaji

Namun para analis mengatakan kedua belah pihak belum mencapai konsensus mengenai apa yang disebut “CAFTA 3.0,” dan masih harus dikaji apakah pro dan kontra kendaraan listrik dan e-commerce China akan menguntungkan industri Asia Tenggara yang sedang berjuang untuk berkompetisi dengan mitra-mitra mereka di China.

Ming-Fang Tsai, seorang profesor di Jurusan Ekonomi Industri di Universitas Tamkang Taiwan, mengatakan kepada VOA, “pembentukan zona demonstrasi perdagangan bebas sebenarnya tidak lebih dari harapan bahwa barang-barang tersebut dapat dijual ke China.”

Namun, dia mengatakan pasar China menghadapi permintaan dalam negeri yang semakin berkurang dan kelebihan produksi, yang menyebabkan persaingan harga. “Jadi, apakah FTA 3.0 benar-benar sebuah upgrade at (peningkatan)? Sebenarnya itu tanda tanya besar,” ujarnya melalui email.

Dorongan China pada Industri Kendaraan Listrik Jadi Sorotan

Beberapa bidang khusus dalam perjanjian 3.0 masih menarik perhatian para pakar, termasuk fokusnya pada industri kendaraan listrik.

He Jiangbing, seorang ekonom dan komentator keuangan yang berbasis di China, mengatakan kepada VOA, meskipun ASEAN juga secara aktif mengembangkan industri kendaraan listrik, jika produsen kendaraan listrik utama China masuk ke Asia Tenggara melalui perjanjian yang ditingkatkan ini (CAFTA 3.0) maka kemungkinan besar hal ini akan berdampak besar pada industri otomotif lokal.

“China daratan memulai pengembangan kendaraan energi baru secara relatif awal dan telah berkembang pesat selama 10 tahun ini. Namun industri otomotif di ASEAN relatif lemah. Jika kendaraan energi baru milik China dijual di ASEAN, akan sulit bagi perusahaan mobil (tradisional) negara-negara Asia Tenggara untuk bertahan,” paparnya. Walhasil industri otomotif di Asia Tenggara akan sangat terdampak atau hancur, tambahnya.

Namun Lu Xi, dosen senior di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, mengatakan kepada VOA bahwa sebagian besar kendaraan listrik China tidak masuk ke Asia Tenggara melalui ekspor tetapi melalui transfer lini produksi, mirip dengan usaha patungan, jadi perang harga seharusnya tidak menimbulkan dampak negatif. “Dengan pengalihan rantai industri manufaktur mobil listrik China, struktur ekonomi Asia Tenggara akan mengalami transformasi besar,” kata Lu melalui email.

“Bergantung pada situasi politik dan ekonomi saat ini antara China dan AS, Asia Tenggara sendiri juga memiliki pasar lokal yang sangat luas dan struktur populasi generasi muda yang sangat baik, sehingga secara keseluruhan, pasar Asia Tenggara sedianya menjadi salah satu mesin penting dalam pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah ini pada masa depan."

Ming-Fang Tsai, profesor di Departemen Ekonomi Industri di Universitas Tamkang Taiwan mencatat bahwa pabrikan China akan mendirikan pabrik di Asia Tenggara untuk menghindari label “Made in China” dan untuk menghindari pembatasan terhadap produk China. "Kontrol atau kendali pada teknologi dapat mempengaruhi komponen kendaraan listrik pada masa depan, yang memberikan tekanan besar bagi pabrikan China,” ujarnya.

eCommerce China Timbulkan Dampak Negatif ke Negara-Negara Asia Tenggara

Selain kendaraan listrik, perjanjian 3.0 juga fokus pada kota pintar, 5G, kecerdasan buatan, dan e-commerce. Namun para analis mengatakan e-commerce China telah memberikan dampak negatif terhadap kawasan ini karena pesanan impor dan barang-barang tiruan China yang lebih murah membanjiri Asia Tenggara.

BACA JUGA: Lonjakan Impor dari China, Hantam Industri Dalam Negeri Indonesia

Surat kabar berpengaruh South China Morning Post dan Bangkok Post melaporkan separuh dari pabrik keramik di provinsi Lampang, di bagian utara Thailand telah tutup; sementara pekerja tekstil Indonesia menghadapi PHK massal. “Saat impor murah dari China membanjiri Asia Tenggara, industri berjuang untuk tetap bertahan,” tulis South China Morning Post (scmp.com). Sementara Bangkok Post melaporkan bagaimana “industri keramik menghadapi ancaman dari produk tiruan China.”

“Dalam menghadapi masuknya e-commerce China secara besar-besaran, sejujurnya, negara-negara Asia Tenggara ini relatif tidak kompetitif. Karena pertama, mereka tidak akan mampu bersaing dengan China dalam hal pemasaran dan pemnjualan. Kedua, produk China sendiri memang lebih murah,” tambah Tsai seraya mengatakan “Jika keseluruhan sistem e-commerce saya lebih baik daripada produk Anda, dan produk saya tidak lebih mahal dari produk Anda, lalu bagaimana Anda bisa bersaing dengan saya?.”

BACA JUGA: Banjir Barang Murah China Berdampak pada Bisnis Lokal di Thailand

Sekjen ASEAN Serukan untuk Manfaatkan Semua Kemitraan, Termasuk RCEP

Dalam pidatonya pada bulan September untuk Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional, atau RCEP, di Nanning, China, Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn meminta dunia usaha untuk memanfaatkan sepenuhnya kemitraan ini saat mereka bergerak menuju peningkatan. Dia memuji RCEP, blok perdagangan terbesar di dunia, yang mencakup hampir 30 persen produk domestik bruto global senilai $29 triliun dan mencakup 2,3 miliar orang di Asia Pasifik.

Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn menghadiri sesi retret KTT ASEAN ke-45 di Pusat Konvensi Nasional di Vientiane, Laos, 9 Oktober 2024. (Athit Perawongmetha/REUTERS)

“Hubungan ekonomi multi arah ASEAN telah menjadi pendorong utama di balik penerapan RCEP,” kata Hourn, menurut keterangan tertulisnya. “China, misalnya, tetap menjadi mitra dagang terbesar ASEAN selama 15 tahun terakhir dan juga telah meningkat dari sumber FDI (penanaman modal asing/foreign direct investment) terbesar ke-5 ke ASEAN pada tahun 2022, dan menjadi sumber FDI terbesar ke-3 pada tahun 2023. Dengan diterapkannya RCEP dan ACFTA 3.0, saya yakin yakin perdagangan dan investasi antara ASEAN, China, dan mitra RCEP lainnya akan terus berkembang demi kepentingan masyarakat di kawasan yang lebih luas,” sebutnya.

ASEAN menyebut perjanjian perdagangan bebas itu sebagai ACFTA, namun Beijing menyebutnya sebagai CAFTA.

CAFTA didirikan oleh China dan ASEAN pada tahun 2009, dan KTT ASEAN-China mengumumkan peluncuran negosiasi untuk peningkatan tersebut pada bulan November 2022. [em/lt]