Ini merupakan saat yang bisa dibayangkan segelintir kecil warga Malaysia beberapa tahun yang lalu, karena elit politik negara itu tampak selalu berada di luar jangkauan hukum.
Pada 23 Agustus, Pengadilan Federal Malaysia mempertahankan vonis hukum dari tahun 2020 atas tuduhan korupsi terhadap Najib Razak, dan memerintahkan laki-laki yang pernah berada di puncak kekuasaan politik Malaysia dan menjabat sebagai perdana menteri untuk masuk penjara guna menjalani hukuman penjara 12 tahun.
Najib berhasil menghindari penjara dengan uang jaminan selama dua tahun terakhir, serta tetap berperan sebagai anggota parlemen sementara berusaha untuk menghapus vonis hukumannya, meskipun sudah kalah dalam pengadilan banding yang pertama pada Desember.
BACA JUGA: Pengadilan Tegakkan Hukuman 12 Tahun Penjara bagi Mantan PM Malaysia Najib RazakBagi para aktivis antikorupsi, keputusan pengadilan tertinggi itu untuk mempertahankan vonis terhadap Najib dan memenjarakan mantan perdana menteri itu, mempertegas kebebasan sistem judisial yang sejak lama dianggap tidak independen.
Sampai 2018, ketika Najib kehilangan kekuasaan sebagai perdana menteri dalam pemilihan yang mengguncang seluruh negara, persepsi publik adalah kebebasan judisial di negara itu dipertanyakan, dan pasti akan ada keterlibatan cabang eksekutif dalam penegakkan hukum,” kata Muhammad Mohan, ketua Transparency International Malaysia, cabang Malaysia pemantau gerakan antikorupsi global.
Menyaksikan Pengadilan Federal tetap tegas dan memerintahkan agar Najib dipenjarakan, menurut Mohan, “memberi rasa percaya kepada publik bahwa cabang judisial di negara ini independen dan tidak ada campur tangan dari pemerintah.” [jm/ka]