Pejabat militer Amerika Serikat (AS) dengan tegas mengingatkan pemerintah sementara Mali agar tidak membuat kesepakatan apapun untuk menggunakan tentara bayaran dari Kelompok Wagner Rusia dalam upayanya memulihkan keamanan dan melawan aksi terorisme di negara tersebut.
Selama berminggu-minggu, pemerintah AS dan Prancis secara terang-terangan berusaha meyakinkan pemimpin Mali agar tidak melanjutkan kesepakatan yang dibuat antara mereka dan kelompok Wagner, di mana pemerintah Mali akan membayar sebesar $10,8 juta per bulan kepada kelompok tentara tersebut untuk mengerahkan 1.000 tentara bayaran yang akan melatih militer Mali, dan menyediakan keamanan untuk pejabat senior.
Pentagon, markas Departemen Pertahanan AS, mengatakan kesepakatan itu akan menimbulkan dampak merugikan bagi Mali dalam berbagai hal.
“Mengingat rekam jejak kelompok Wagner, seandainya laporan ini benar, setiap peran untuk tentara bayaran Rusia di Mali akan membuat situasi yang sudah tidak stabil dan rentan menjadi semakin parah,” kata juru bicara Departemen Pertahanan Cindi King kepada VOA.
BACA JUGA: Seorang Tentara Penjaga Perdamaian PBB Tewas di MaliKing juga memperingatkan kesepakatan antara Mali dan Kelompok Wagner “akan memperkeruh tanggapan dari dunia internasional dalam mendukung pemerintahan transisi.”
Amerika selama ini telah menyediakan pelatihan dan dukungan lainnya untuk Mali ketika negara itu menghadapi ancaman dari berbagai kelompok teroris, termasuk afiliasi ISIS, seperti IS-Sahara, dan afiliasi al-Qaeda yaituJamaat Nusrat al-Islam wal-Muslimin.
Tetapi dukungan itu dihentikan pasca kudeta Agustus 2020 lalu di mana unsur-unsur militer Mali menggulingkan pemimpin terpilih negara itu.
Baru-baru ini Prancis mengumumkan pada Juni pihaknya akan memulangkan sekitar 2.000 pasukan kontraterorisme yang ditempatkan di Mali dan negara-negara tetangganya.
Pemerintahan sementara Mali sejauh ini membantah adanya kesepakatan dengan Kelompok Wagner, tetapi perdana menteri negara itu mengatakan kepada VOA minggu lalu bahwa tindakan Amerika, Prancis, dan negara lainnya telah menyebabkan pemerintahan interim tidak memiliki banyak pilihan. (jm/em)