Pentingnya Peran Pemerintah dan Partisipasi Publik untuk Cegah Pemanasan Global

Terus mencairnya es di Kutub Utara akibat pemanasan Bumi akan berdampak negatif bagi lingkungan (foto: ilustrasi).

KTT Iklim PBB di Glasgow, Skotlandia tinggal tiga hari lagi. Perundingan itu bertujuan untuk meraih perjanjian agar negara-negara bisa menahan laju pemanasan global pada tingkat 1,5 derajat Celcius. Selain peran pemerintah, partisipasi publik juga sangat diperlukan untuk mencapai target tersebut.

Planet Bumi diperkirakan akan memanas tiga derajat Celsius pada akhir abad ini. Akibatnya bisa fatal. Laut memanas, menyebabkan keragaman hayati berkurang; gelombang panas melanda banyak wilayah; kebakaran hutan semakin merajalela; dan kota-kota di pesisir tenggelam.

“Akan ada severe impacts terutama (terhadap) negara kepulauan, cairnya es di kutub utara dan selatan,” ujar Nila Kamil, kandidat PhD bidang kebijakan iklim pada Universitas Wageningen Belanda kepada VOA.

BACA JUGA: PBB: Komitmen Emisi Baru Tidak Berpengaruh pada Mitigasi Pemanasan Global

Dampak itulah yang ingin dicegah oleh para pemimpin dunia dan juru runding dari hampir 200 negara yang berkumpul dalam Konferensi Iklim PBB atau COP ke-26 di Glasgow. Target mereka adalah menahan laju pemanasan global di angka 1,5 derajat Celsius, tidak lebih.

Utusan Iklim AS, John Kerry

Berbicara pada konferensi pers di Glasgow pada Jumat (5/11), utusan iklim AS mengatakan, "Orang-orang di seluruh dunia kini semakin marah karena kurangnya respon yang cukup, tapi mereka juga menyadari bahwa isu ini mendesak dan bahwa kita semua harus bergerak bersama-sama,” ujar John Kerry seperti dilaporkan Reuters.

Partisipasi publik

Karena itu, partisipasi publik juga tak kalah penting untuk membantu mengurangi emisi. Nila mengatakan upaya bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup yang lebih berkelanjutan, seperti memilah sampah, menggunakan energi bersih, dan memilih pemimpin yang pro-lingkungan.

Nila Kamil, kandidat PhD bidang kebijakan iklim pada Universitas Wageningen

“Nggak bisa lagi nih gaya hidupnya yang sewenang-wenang atau misalnya harga BBM disubsidi dan pemimpin itu malah yang dipilih, karena kita memang harus phase out dari penggunaan conservative fuel kita harus beralih ke renewable energy,” ujar Nila dari Amsterdam.

Artinya, mengurangi bahan bakar fosil yang berasal dari minyak, batu bara dan gas alam, dan menggantinya dengan energi terbarukan seperti matahari, angin dan air.

Ika Permatasari-Olsen, perempuan yang tinggal di sebuah kapal yacht di perairan Norwegia, sangat memperhatikan sumber energi yang digunakannya.

“Meskipun kita masih menggunakan diesel, tapi juga kita bisa self sustain, karena kita juga menggunakan wind power untuk mengecas baterai segala macam,” kata Ika kepada VOA.

Ika Permatasari-Olsen berlayar di perairan Eropa. (Foto: Ika Olsen)

Menurutnya cara ini lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan mengubah kapalnya menjadi kapal elektrik.

“Kita mikirnya gini karena kita sailing, tidak semua area listriknya dihasilkan dari air atau angin, tapi masih banyak sekali area yang kita tuju listriknya masih dari coal,” ujar perempuan yang sedang berlayar di perairan Eropa ini.

Penghapusan batu bara

Coal atau batu bara adalah salah satu isu yang dibahas dengan sengit di KTT Iklim. Beberapa negara besar pengguna batu bara, pada Kamis (4/11), mengumumkan langkah-langkah untuk perlahan-lahan menjauhkan diri dari penggunaan bahan bakar fosil yang sarat akan polusi tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (courtesy: Kemenkeu)

Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada Rabu (3/11) bahwa Indonesia akan mampu menghapus penggunaan batu bara pada 2040.

“Kami memperkenalkan mekanisme transisi energi, artinya batu baru akan dipercepat atau dipensiunkan lebih awal, dipensiunkan pada 2040, karena kalau kita tidak melakukan apa-apa, batu bara akan terus dipakai hingga 2060,” ujarnya dari Glasgow seperti dilaporkan Reuters.

Indonesia memiliki cadangan batu bara sebesar 147,6 miliar ton yang tersebar di 21 provinsi. Akan butuh waktu puluhan tahun untuk menghabiskan sumber energi kotor itu. Selain itu, data Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyebut, setidaknya 70 persen pembangkit listrik di Jawa menggunakan batu bara.

Menurut Presiden COP26 Alok Sharma target negara-negara terkait penggunaan batu bara akan memangkas sekitar sepersepuluh derajat dari proyeksi kenaikan suhu yang akan terjadi di masa depan.

"Hari ini, saya rasa kita bisa mengatakan akhir dari batu bara sudah di depan mata," kata Sharma, seperti dilaporkan Associated Press.

Namun, para pengkritik meragukannya, karena beberapa negara dengan tingkat perekonomian besar belum menetapkan tanggal untuk mengakhiri ketergantungan mereka pada batu bara. Para aktivis menuntut agar pemerintah-pemerintah bergerak lebih cepat untuk mengurangi polusi akibat batu bara dan bensin yang merusak iklim dan memanaskan suhu Bumi. [vm/ab]