Perubahan signifikan kasus positif corona di Yogyakarta yang menggambarkan perubahan cara penularan itu disampaikan juru bicara tim Satgas Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta, Berty Murtiningsih. Dalam laporan 3 Oktober lalu misalnya, Berty menyebut ada 72 kasus positif yang didominasi hasil penelusuran.
“Distribusi kasus berdasar riwayat, tracing kontak 63 kasus, skrining pekerjaan satu kasus, pelaku perjalanan dua kasus, dan masih dalam penelusuran enam kasus,” ucap Berty.
Data lain menunjukkan kecenderungan serupa. Dalam laporan tanggal 19 September, dari 74 kasus harian terdapat 46 kasus hasil penelusuran. Satu hari kemudian, Berty melaporkan 70 kasus baru dengan 32 diantaranya hasil penelusuran kasus positif sebelumnya. Tingginya kasus hasil penelusuran menunjukkan satu hal, yaitu penularan di tingkat lokal meningkat drastis. Peningkatan itu mendongkrak jumlah kasus, baik di Yogyakarta maupun nasional, dimana kasus harian saat ini tinggi.
Dua Sebab Kasus Meningkat
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito Yogyakarta, Rukmono Siswishanto, melihat tren kenaikan kasus dikarenakan dua sebab.
Faktor pertama adalah karena peningkatan jumlah sampel yang diperiksa. Peningkatan ini selaras dengan semakin tingginya upaya pemerintah daerah melakukan pelacakan kasus hingga selesai. Di sisi yang lain, pemerintah juga menambah jumlah laboratorium yang bisa melakukan pemeriksaan sampel secara agresif setidaknya dalam empat bulan terakhir.
Your browser doesn’t support HTML5
Di awal pandemi, lanjut Rukmono, bisa saja terjadi ada pasien yang sebenarnya positif, tetapi tidak diketahui karena berbagai keterbatasan. Selain itu, belakangan ada kebijakan post mortem swab yang mampu menyaring lebih rinci pasien-pasien meninggal akibat corona.
Faktor kedua, kata Rukmono, adalah perubahan cara penularan.
“Kemudian juga kemungkinan mode penularannya itu ada perubahan. Jadi kalau mode penularan itu kan mulai dari tidak ada penularan, terus ada sporadik, ada klaster dan yang paling akhir adalah community. Jadi, saat ini penularan sudah ada di level komunitas,” ujar Rukmono yang juga Wakil Koordinator Bidang Kesehatan Satgas Covid-19 Yogyakarta.
Penularan di level komunitas satu tingkat lebih tinggi dari skema klaster yang sebelumnya banyak terjadi. Dalam skema klaster, bisa diketahui siapa yang menjadi penular awal dan siapa saja yang tertular. Dalam mode komunitas, seperti yang sekarang terjadi, menjadi tidak jelas siapa yang menularkan dan siapapun memiliki resiko untuk tertular.
Pada gilirannya, kondisi ini memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah korban meninggal. Penyebabnya, kata Rukmono, kelompok-kelompok rentan menjadi lebih sulit untuk dijaga dari kemungkinan penularan, sebab siapa saja bisa menularkan. Kelompok rentan ini, yaitu mereka yang berusia lanjut, memiliki penyakit komorbid, atau ibu hamil memiliki resiko kematian lebih tinggi jika terjadi infeksi.
Terkait kemampuan rumah sakit merawat pasien, Rukmono mengatakan Yogyakarta masih dalam tahap kontijensi atau kondisi ketidakpastian terkait penanganan. Hal ini bermakna, rumah sakit masih mampu merawat pasien Covid-19 dan non-Covid 19 secara bersama. Jumlah pasien Covid-19 yang berada dalam angka aman memungkinkan itu.
Rukmono mengingatkan, bahwa di atas tahap kontijensi ini ada tahap kritikal, yaitu rumah sakit harus menambah layanan Covid-19 dan mengurangi layanan normal. Pada tahap tertentu, rumah sakit bisa saja harus menutup layanan non-Covid dan sepenuhnya beralih melayani pasien Covid-19. Kondisi ini akan sangat berbahaya.
“Sekarang ini masih 60 persen, kalau nanti kapasitas kontijensi itu mencapai 80 persen maka kita harus mengaktifkan kapasitas kritikal, itu mudah-mudahan tidak terjadi. Karena itu masyarakat harus bekerja sama supaya aman jangan sampai tertular,” ujarnya.
Seperti Bermain Layang-Layang
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad juga menegaskan, penularan corona di Indonesia saat ini sudah berada di komunitas. Upaya penelusuran kontak menjadi tidak cukup. Kondisi ini merupakan dampak dari meningkatnya mobilitas masyarakat.
Riris menelaah penanganan kasus corona yang sebenarnya relatif baik di awal-awal pandemi di Yogyakarta. pengendalian transmisi lokal berjalan dengan baik dan karenanya mayoritas kasus ketika itu adalah impor dari wilayah lain. Kasus impor adalah konsekuensi ketidakmampuan pemerintah daerah menutup perbatasan.
“Yang menjadi titik krusial adalah seberapa cepat kasus impor masuk bisa dideteksi dan kemudian dipisahkan dari populasi,” kata Riris.
Selain cepatnya penanganan kasus impor, jumlah positif corona di Yogyakarta pada Maret-Mei rendah karena mobilitas penduduk rendah. Perbandingan kasus impor dan transmisi lokal hingga awal Juni, kata Riris menunjukkan mayoritas kasus masih dari luar.
Hingga kemudian wacana new normal mengemuka, yang dimaknai masyarakat sebagai kehidupan normal kembali. Kasus lokal kembali meningkat, didukung aktivitas warga seperti popularitas sepeda meningkat dan liburan panjang yang menyebabkan interaksi masyarakat cair. Mulai itulah, penularan di komunitas sudah meluas di Yogyakarta.
Masalahnya, tambah Riris, respon yang dilakukan pemerintah masih sama seperti pada bulan-bulan sebelumnya, yaitu melakukan penelusuran kontak. Padahal dalam kondisi semacam ini, untuk bisa menurunkan transmisi, yang harus dilakukan adalah menghentikan mobilitas penduduk. Ketiadaan perubahan kebijakan dan implementasi jaga jarak yang lemah menjadi daya penguat penularan komunitas.
Padahal dalam kondisi peningkatan kasus yang signifikan, kebijakan harus berubah. Apa yang diterapkan pada sekitar Maret, yang terbukti mampu menekan penularan, bisa menjadi pembanding. Karena itu, di daerah dimana kasus naik seharusnya dilakukan penghentian kegiatan-kegiatan non esensial untuk menurunkan transmisi.
Tentu saja setiap kebijakan atau intervensi memiliki resiko. Riris memberi contoh, lockdown wilayah berdampak pada ekonomi, bahkan termasuk layanan kesehatan. Sebaliknya, membiarkan ekonomi terus berjalan dengan prinsip siapapun yang sakit akan dirawat dengan layak, juga memiliki konsekuensi. Peningkatan kasus secara cepat untuk membuka keran ekonomi, berpotensi membuat sistem layanan kesehatan kolaps.
“Jadi bagaimana kita mencari jalan tengah yang bisa meminimalisir keduanya. Jalan tengahnya adalah, kita harus, dan ini sudah dari dulu saya katakan, seperti bermain layang-layang. Ada saat kita mengulur benang ketika kita bisa mengendalikan transmisi. Ada saatnya kita menarik benang ketika transmisinya meningkat,” tambah Riris.
Dalam skema ini, pemerintah daerah bisa melonggarkan aktivitas masyarakat ketika penularannya terkendali. Namun, begitu angkanya kembali naik, mobilitas harus diperketat agar penularan kembali bisa dikendalikan. Skema ini, menurut Riris harus menjadi konsep bawaan era normal baru sehingga semua pihak memahami, bahwa akan ada proses pelonggaran dan pengetatan berulang, dengan mempertimbangkan kasus yang terjadi.
Apa yang terjadi di Yogyakarta, adalah gambaran mayoritas daerah di Indonesia. Kehidupan yang mulai kembali normal, mendongkrak angka kasus positif, di mana rata-rata kini ada di kisaran 4.000 kasus per hari. Seperti kata Riris, ketat atau longgar, pilihan kebijakan apapun membawa konsekuensi.
Laporan ini, dan laporan berjudul "Corona dan Angka-Angka yang Tercatat di Yogya" adalah kolaborasi tujuh media, baik online, cetak, radio maupun televisi di Indonesia, untuk memotret lebih detil perkembangan kasus corona di Yogyakarta. Tren di provinsi ini, diyakini mewakili kondisi serupa di provinsi lain. [ns/em]