Kedua tersangka menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok al-Muhajiroun, yang membakar bendera Amerika di luar Kedubes AS di London.
LONDON —
Lebihd ari seminggu setelah tewasnya tentara Inggris pada siang bolong di sebuah jalan di London, yang ternyata merupakan serangan kelompok militan Islamis, salah satu tersangka telah dikenakan tuduhan pembunuhan.
Tersangka lain masih menjalani pemulihan di rumah sakit setelah ditembak polisi. Pihak berwenang mencoba menghubungkan semua petunjuk mengenai bagaimana dua warga negara Inggris, yang dikenal layanan sekuriti, melakukan serangan brutal tersebut.
Beberapa hari sejak pembunuhan, muncul laporan bahwa salah satu tersangka, Michael Adebolajo, pernah ditahan di Kenya pada 2010 dengan tuduhan mencari pelatihan dengan kelompok teror al-Shahab di negara tetangga Somalia. Dalam video persidangannya, ia membuat tuduhan melawan pihak berwenang di Kenya.
"Orang-orang ini memperlakukan kami dengan buruk. Kami tidak bersalah, percayalah pada saya," ujar Adebolajo.
Pandangan Ekstremis
Adebolajo kemudian dideportasi kembali ke Inggris. Foto-foto bermunculan yang memperlihatkan bagaimana Adebolajo menghadiri demonstrasi Islamis di London pada 2007. Sebuah gambar menunjukkan bagaimana pemuda-pemuda radikal memadati jalanan dan Internet, ujar ahli teror Brooke Rogers dari Kings College London.
"Sangat sulit memahami bagaimana seseorang beralih dari pembicaraan di Internet, kemudian menghadiri demonstrasi semacam ini, menampilkan pandangan-pandangan yang lebih ekstremis secara publik. Sangat sulit memahami kapan mereka pindah ke titik kekerasan," ujar Rogers.
Kedua tersangka menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok militan Islamis al-Muhajiroun, yang dipimpin oleh Anjem Choudari. Kelompok ini membakar bendera Amerika di luar Kedutaan Besar AS di London pada peringatan peristiwa 9/11.
Sehari setelah serangan di London, Choudary mengeluarkan pernyataan bahwa jika pasukan-pasukan ditarik dari negara-negara Muslim, jika langkah-langkah penindasan ini berhenti digunakan, "maka hal-hal seperti ini tidak akan terjadi."
Retorika yang sama mengenai pendudukan tanah-tanah Muslim digunakan oleh para tersangka pada saat serangan.
"Saya kira hal itu cukup menarik karena mereka adalah warga negara Inggris, tapi memakai istilah 'tanah kami.' Retorika ini sederhana, keterlibatan penuh dengan pengaruh Islamis di Internet," ujar ahli teror Rogers.
Kedua tersangka tersebut merupakan mualaf. Robin Simcox dari lembaga kebijakan The Henry Jackson Society mengatakan bahwa sejumlah serangan teror di Inggris dilakukan oleh mualaf.
"Mereka merasa seolah-olah hidupnya ada di jalur yang salah. Dan agama merupakan jalan keluar. Pada akhirnya, untuk beberapa orang ini, pandangan tersebut mengarah ke interpretasi ekstremis," ujar Simcox.
Serangan di London memunculkan kembali desakan untuk melarang ulama radikal.
"Seseorang yang tidak melanggar hukum, namun sangat jelas melakukan radikalisasi individu dan memberikan mereka interpretasi iman yang ekstremis, merupakan masalah yang sangat sulit diatasi," ujar Simcox.
Para analis mengatakan bahwa seiring detil-detil baru penyelidikan muncul, debat mengenai kebebasan berekspresi dan penyelesaian radikalisasi akan meningkat.
Tersangka lain masih menjalani pemulihan di rumah sakit setelah ditembak polisi. Pihak berwenang mencoba menghubungkan semua petunjuk mengenai bagaimana dua warga negara Inggris, yang dikenal layanan sekuriti, melakukan serangan brutal tersebut.
Beberapa hari sejak pembunuhan, muncul laporan bahwa salah satu tersangka, Michael Adebolajo, pernah ditahan di Kenya pada 2010 dengan tuduhan mencari pelatihan dengan kelompok teror al-Shahab di negara tetangga Somalia. Dalam video persidangannya, ia membuat tuduhan melawan pihak berwenang di Kenya.
"Orang-orang ini memperlakukan kami dengan buruk. Kami tidak bersalah, percayalah pada saya," ujar Adebolajo.
Pandangan Ekstremis
Adebolajo kemudian dideportasi kembali ke Inggris. Foto-foto bermunculan yang memperlihatkan bagaimana Adebolajo menghadiri demonstrasi Islamis di London pada 2007. Sebuah gambar menunjukkan bagaimana pemuda-pemuda radikal memadati jalanan dan Internet, ujar ahli teror Brooke Rogers dari Kings College London.
"Sangat sulit memahami bagaimana seseorang beralih dari pembicaraan di Internet, kemudian menghadiri demonstrasi semacam ini, menampilkan pandangan-pandangan yang lebih ekstremis secara publik. Sangat sulit memahami kapan mereka pindah ke titik kekerasan," ujar Rogers.
Kedua tersangka menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok militan Islamis al-Muhajiroun, yang dipimpin oleh Anjem Choudari. Kelompok ini membakar bendera Amerika di luar Kedutaan Besar AS di London pada peringatan peristiwa 9/11.
Sehari setelah serangan di London, Choudary mengeluarkan pernyataan bahwa jika pasukan-pasukan ditarik dari negara-negara Muslim, jika langkah-langkah penindasan ini berhenti digunakan, "maka hal-hal seperti ini tidak akan terjadi."
Retorika yang sama mengenai pendudukan tanah-tanah Muslim digunakan oleh para tersangka pada saat serangan.
"Saya kira hal itu cukup menarik karena mereka adalah warga negara Inggris, tapi memakai istilah 'tanah kami.' Retorika ini sederhana, keterlibatan penuh dengan pengaruh Islamis di Internet," ujar ahli teror Rogers.
Kedua tersangka tersebut merupakan mualaf. Robin Simcox dari lembaga kebijakan The Henry Jackson Society mengatakan bahwa sejumlah serangan teror di Inggris dilakukan oleh mualaf.
"Mereka merasa seolah-olah hidupnya ada di jalur yang salah. Dan agama merupakan jalan keluar. Pada akhirnya, untuk beberapa orang ini, pandangan tersebut mengarah ke interpretasi ekstremis," ujar Simcox.
Serangan di London memunculkan kembali desakan untuk melarang ulama radikal.
"Seseorang yang tidak melanggar hukum, namun sangat jelas melakukan radikalisasi individu dan memberikan mereka interpretasi iman yang ekstremis, merupakan masalah yang sangat sulit diatasi," ujar Simcox.
Para analis mengatakan bahwa seiring detil-detil baru penyelidikan muncul, debat mengenai kebebasan berekspresi dan penyelesaian radikalisasi akan meningkat.