Kurang tiga pekan menjelang bulan suci Ramadan, pemerintah tetap mengimbau masyarakat agar berada di rumah demi menekan angka perebakan virus corona di Indonesia. Pasalnya, jumlah kasus positif Covid-19 di tanah air belum menunjukkan perlambatan sejak pertama kali terdeteksi awal Maret lalu.
“Yang jelas sedih, karena euforia Ramadannya pasti berbeda karena social distancing ini, kan tidak bisa buka puasa bersama, tidak bisa salat tarawih bersama,” kata Habibi Dewantara, warga Yogyakarta, kepada VOA, Senin (6/4).
Meski berat, Habibi dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal dan menunda mudik ke kampung halaman istrinya di Banten seperti rencana semula.
“Untuk rencana lebaran, kami sudah beli tiket jauh-jauh bulan sebelum pandemi ini, otomatis tiket mudik kita refund (diuangkan kembali),” ungkapnya.
Hal itu diputuskan setelah keduanya menimbang berbagai hal, termasuk tuntunan dari organisasi keagamaan yang mereka panuti.
BACA JUGA: Cegah Mudik, Jokowi Rencana Pindahkan Libur Lebaran“Dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah jelas, dari Muhammadiyah juga sudah jelas tentang fatwa-fatwa dan juga tentang imbauan selama pandemi ini,” imbuh Habibi.
Peran pemuka agama strategis untuk memandu masyarakat
Menurut pengamat sosial dari Vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, pemerintah harus merangkul organisasi keagamaan maupun tokoh agama dalam menghadapi situasi darurat yang menuntut kedisiplinan masyarakat, terutama menjelang momen Ramadan dan musim mudik lebaran.
“Kalau pemerintah ingin semakin memperkuat kampanye agar masyarakat mengisolasi diri di rumah, tolong gunakan dan ajak kerja sama teman-teman pemuka agama,” ungkap Devie kepada VOA.
Your browser doesn’t support HTML5
Devie mencontohkan, bahwa tokoh-tokoh agama dapat menekankan manfaat spiritual dari masa pembatasan sosial (social distancing) kepada umat mereka.
“Anggap saja momentum ini menjadi satu momentum yang sangat langka yang bisa dimiliki oleh masyarakat kita, Muslim terbesar di dunia, untuk bisa betul-betul khusyu (beribadah) di dalam rumah masing-masing,” imbuhnya.
“Tapi catatannya, jangan sampai orang fokus beribadah, tapi dalam kondisi lapar,” lanjut Devie, yang menekankan agar pemerintah menangani aspek jaminan sosial selagi para pemuka agama meyakinkan masyarakat.
BACA JUGA: Korban Virus Corona Terus Melesat, Pemerintah Imbau Warga Pakai MaskerMeski diakuinya efektivitas langkah itu belum teruji mengingat situasi serupa belum pernah terjadi sebelumnya, Devie, yang kini tengah meneliti dampak sosial pandemi Covid-19 di Indonesia bersama tim risetnya, optimis bahwa pelibatan pemuka agama dalam penanganan wabah virus corona akan berdampak positif.
“Dalam banyak penelitian-penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa aspek spiritualitas, komunikasi yang berbasis agama ini ternyata masih cukup efektif di masyarakat kita,” tuturnya.
Menurut Devie, “Dalam kondisi yang mencemaskan secara mental, biasanya dalam adab masyarakat timur, mereka akan cenderung kembali kepada aspek-aspek spiritual, oleh karenanya di sinilah peran signifikan dan strategis dari para pemuka agama untuk memandu, menjadi kompas bagi masyarakat.”
Imbauan tokoh agama saja tidak cukup
Dalam beberapa sesi rapat terbatas dengan jajarannya, Presiden Joko Widodo telah meminta pelibatan organisasi keagamaan serta tokoh agama untuk mencegah perebakan virus corona.
“Pelibatan tokoh-tokoh agama, tokoh ormas, untuk memberikan pendidikan, mengedukasi masyarakat dalam mensosialisasikan disiplin penerapan jaga jarak aman, betul-betul bisa dikerjakan,” perintah Presiden Jokowi dalam rapat terbatas persiapan Ramadan dan Idul Fitri 2020 melalui telekonferensi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (2/4).
Namun demikian, penceramah Sholeh Mahmoed Nasution atau akrab disapa Ustadz Solmed, mengaku bahwa imbauan dari tokoh agama saja tidak cukup untuk bisa menegakkan pembatasan sosial di masyarakat.
“Sekarang persoalannya adalah bagaimana menertibkan masyarakat. Imbauan, fatwa sekalipun tidak bisa efektif tanpa kerja sama aturan yang tegas dan lugas dari pemerintah itu sendiri, karena ulama tidak punya peranan apapun untuk melakukan eksekusi,” ujar Sholeh kepada VOA (5/4).
Menurutnya, apabila pemerintah menganggap wabah Covid-19 membahayakan dan untuk itu keselamatan warga menjadi prioritas utama, maka diperlukan peraturan yang mengikat dan memaksa.
BACA JUGA: Solusi Bijak Rumah Ibadah Hadapi Corona“Mengikat (artinya) punya kekuatan hukum. Memaksa (artinya) orang nggak berani untuk keluar. Tapi di sisi lain, pemerintah juga memberikan hak yang dibutuhkan oleh masyarakat, bagaimana dengan (kebutuhan) makannya,” jelasnya.
Akhir Maret lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan status darurat kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 11 Tahun 2020.
Di samping itu, pemerintah juga menelurkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yang diturunkan ke dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah, alih-alih karantina wilayah (lockdown), untuk merespons pandemi virus corona.
Hingga Senin (6/4), belum ada satu pun wilayah yang disetujui menerapkan PSBB. Sejumlah pemerintah daerah, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Kota Timika (Papua) dan Kota Tegal (Jawa Tengah) telah mengajukan status PSBB atas daerah masing-masing. [rd/em]