Presiden Perancis Francois Hollande pada Senin menganugerahkan Legion of Honor, penghargaan tertinggi Perancis, kepada seorang warga Inggris dan tiga orang Amerika yang berhasil mematahkan upaya seorang pria bersenjata berat di atas kereta api berkecepatan tinggi pada hari Jumat (24/8).
Pada upacara di Paris, Hollande menyematkan medali pada pembalap Inggris Chris Norman dan warga Amerika Spencer Stone, Alek Skarlatos dan Anthony Sadler. Dia mengatakan tindakan mereka pekan lalu dalam menghadapi teror menyiratkan "pesan keberanian, solidaritas dan harapan."
"Seorang teroris memutuskan untuk bertindak. Dia memiliki cukup senjata dan amunisi untuk melaksanakan pembantaian nyata, kalau saja Anda tidak menghadapinya walaupun taruhannta adalah nyawa Anda," kata Hollande.
Hollande mengatakan dua orang Amerika yang menghadapi pria bersenjata itu adalah tentara, "tetapi pada hari Jumat itu, Anda hanya penumpang biasa. Anda berperilaku sebagai tentara tetapi juga sebagai orang yang bertanggung jawab. "
Hollande juga menyatakan penghormatan kepada penumpang lain yang membantu meningkatkan kewaspadaan dan menaklukkan pria bersenjata tersebut, Ayoub El-Khazzani, yang digambarkan oleh presiden sebagai teroris. Mereka termasuk penumpang Perancis dan Franco-Amerika yang telah dirawat di rumah sakit akibat mengalami luka-luka. Warga Perancis ini merupakan orang pertama yang menemukan pria bersenjata di dekat toilet pada saat kereta melaju menuju Paris. Mereka akan menerima Legion of Honor dalam upacara terpisah.
Berbicara kepada media untuk pertama kalinya Minggu, tiga warga Amerika bersama-sama menjelaskan bahwa mereka menaklukkan Khazzani berdasarkan naluri bertahan hidup.
Spencer Stone, seorang pilot Angkatan Udara AS yang terluka dalam serangan itu, mengatakan dia berpikir kelangsungan hidupnya sama seperti orang lain yang saat itu berada dalam kereta bersamanya, saat dia, Skarlatos dan Sadler melesat dari kursi mereka untuk merobohkan tersangka.
Skarlatos, anggota Garda Nasional yang baru-baru ini bertugas di Irak, mengatakan ketiga warga Amerika termasuk dirinya dan Norman mengikuti "insting" mereka untuk mengalahkan pria bersenjata itu. Menurut Sadler, pria bersenjata itu tidak pernah mengatakan apapun sebelum meluncurkan serangan.
Tiga warga Amerika itu, dengan kaus polo santai dan celana khaki dan nampak kontras dengan latar belakang istana presiden yang sangat formal, terlihat sedikit kewalahan saat menerima penghargaan tertinggi tersebut.
Dengan tangan berbalut perban dan mata memar, Stone, 23, mengatakan dia terjaga dari tidur nyenyaknya saat pria bersenjata itu muncul.
Skarlatos “menepuk pundak saya dan berkata 'ayo (kita robohkan dia)'," jelas Stone.
Saat merekonstruksikan kejadian tersebut, pihak berwenang menemukan bukti bahwa pria bersejata itu telah menembak seseorang di gerbong lainnya, sebelum memasuki gerbong tempat warga Amerika dan Inggris tersebut duduk.
“Dalam krisis seperti itu, saya ingin orang-orang belajar bahwa kita harus melakukan sesuatu. Bersembunyi atau tetap duduk tidak akan menyelesaikan apapun. Pria bersenjata itu akan berhasil menyerang kalau saja teman saya Spencer tidak terbangun," kata Sadler.
Warga Inggris mendeskripsikan serangan
Norman, yang tinggal di Perancis, mengatakan pria yang memasuki gerbongnya membawa senjata jenis senapan serbu Kalashnikov, sebuah senapan genggam dan sebuah kotak cutter. Ketika mulai menembak, Norman mengatakan bahwa nalurinya mengatakan dia harus telungkup untuk berlindung.
"Lalu saya dengar salah satu dari warga Amerika tersebut berteriak 'Ayo robohkan dia!' dan lainnya terdengar seperti berkata, 'Jangan lakukan itu, kawan!' dan mereka menghadapi pria bersenjata tersebut," jelas Norman, menambahkan bahwa si penyerang "melawan dengan sekuat tenaga."
"Saya membantu memegang tangannya," kata Norman, dan ketiga warga Amerika itu mengikat pergelangan tangan warga Maroko tersebut di belakang punggungnya dengan dasi.
Norman, yang berbicara dalam bahasa Perancis saat menerima medali tersebut, mengatakan apa yang mereka lakukan adalah untuk mempertahankan diri dan bukan karena ingin menjadi pahlawan.
“Saya harap ini tidak terjadi pada Anda, tapi saya ingin Anda benar-benar berpikir: 'Apa yang akan saya lakukan apabila hal ini terjadi? Apakah saya akan berdiam diri atau saya akan mencoba untuk bertindak apabila terjadi situasi seperti ini?" katanya.
Interogasi tersangka
Pejabat kontra-terorisme Perancis terus menanyai Khazzani, warga Maroko berusia dua puluhan yang diketahui intelijen berada di tiga negara terkait Islam radikal dan mungkin telah melakukan perjalanan ke Suriah.
Dia naik kereta di Brussels tak lama sebelum serangan.
Pengacara Khezzani, Sophie David, mengatakan kepada surat kabar Le Monde pria bersenjata itu berpendidikan rendah dan kurus kerempeng, dan mengatakan ia telah menghabiskan enam bulan terakhir perjalanan antara Belgia, Jerman dan Austria, serta Perancis dan Andorra. David menyatakan bahwa Khazzani "tercengang" atas tuduhan terorisme yang ditujukan padanya dan mengatakan kliennya hanya bermaksud merampok penumpang.