Perang Israel-Hamas Paling Mematikan bagi Wartawan

Jurnalis bekerja di jalan di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, di tengah berlanjutnya pertempuran antara Israel dan kelompok militan Hamas (foto: dok).

Perang Israel-Hamas disebut sebagai konflik paling berbahaya bagi media sepanjang sejarah masa kini. Tingginya angka kematian wartawan di Gaza menjadikan setiap berita yang dibuat menjadi sangat penting.

Seiring meningkatnya jumlah wartawan yang menjadi korban jiwa, serta semakin meluasnya perang, kemampuan menyampaikan berita pun menjadi berkurang.

Sebagian besar wartawan yang sebelumnya berada di Gaza, kini pindah ke Rafah, di dekat perbatasan Mesir. Populasi di kota ini meningkat hampir lima kali lipat sejak perang dimulai pada bulan Oktober lalu.

Penduduk Gaza pun turut mengungsi ke Rafah seiring gerak maju pasukan Israel ke arah Selatan.

Para wartawan yang bekerja di wilayah itu mengatakan, setiap berita yang mereka buat kemungkinan bisa menjadi berita terakhir yang mereka kirimkan. Namun risiko itu sama seperti perjalanan ke pasar membeli makanan atau bahan bakar, ke rumah sakit untuk mencari orang hilang, terluka, atau meninggal dunia, atau bahkan ketika masuk peraduan setiap malam.

Wartawan Palestina Moatasim Moshtaha menegaskan risiko itu.

“Situasi di Gaza sangat sulit, dan juga melakukan peliputan di Gaza. Seseorang bisa terbunuh karena melaporkan berita, atau mengambil video untuk disiarkan,” ujar Moshtaha.

Tergantung dari siapa yang menghitung, jumlah wartawan yang meninggal dunia dalam perang Israel-Hamas bervariasi. Namun, semua hasil menunjukkan tingkat kematian jurnalis dalam perang ini lebih tinggi dibandingkan dengan perang lainnya dalam sejarah dunia modern.

BACA JUGA: Israel Lancarkan Serangan Udara di Rafah

Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) melaporkan sebanyak 85 jurnalis meninggal dunia, sementara PBB menyebut 122 jurnalis menjadi korban jiwa.

Sementara para jurnalis di Gaza mengatakan, jumlah tersebut telah meningkat menjadi 130 orang sejak laporan terakhir dipublikasikan.

Meski begitu, hal itu tidak menjadi alasan bagi para jurnalis di Gaza untuk menghentikan peliputannya.

“Ketika para jurnalis dibatasi dan mental mereka ditekan, mereka bisa menghentikan jurnalis untuk menyampaikan berita secara profesional. Tapi ketika mereka membunuh seorang jurnalis, itu justru meningkatkan tekad kami untuk terus menyampaikan berita dan kebenaran,” ujar Moshtaha.

Pemerintah Israel melarang wartawan internasional untuk masuk ke Gaza. Pada bulan Desember lalu, Asosiasi Media Asing di Yerusalem mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Israel untuk mendapat akses ke Gaza selain melalui pengawalan militer Israel yang dikontrol secara ketat.

Mahkamah itu menolak petisi tersebut dan menyatakan bahwa tindakan itu akan menjadi beban bagi Pasukan Pertahanan Israel.

Your browser doesn’t support HTML5

Perang Israel-Hamas, Jurnalis di Tepi Barat Hadapi Bahaya dan Pembatasan

Sementara itu di Gaza, kemampuan para wartawan untuk menyampaikan berita semakin berkurang, seperti yang disampaikan oleh Islam Ezzanoun.

“Ini perang dari segala penjuru terhadap jurnalis dan seluruh masyarakat. Pendudukan Israel sering memutus saluran komunikasi sebagai bagian dari serangan mereka, mengurangi kemampuan kami mendapatkan informasi dari wilayah yang dibatasi di utara, tempat kami sebelum kami terpaksa harus mengungsi,” sebut Ezzanoun.

Pemerintah Israel berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak menargetkan jurnalis atau warga sipil lainnya.

Namun, klaim itu dibantah oleh berbagai kelompok HAM internasional dan wartawan Palestina. [ti/jm]