Pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (3rd FMCBG) yang dilangsungkan di Bali pada pekan ini tidak menghasilkan satu komunike bersama. Ada empat belas butir kesimpulan, tetapi dua butir di antaranya tidak disepakati secara utuh.
Empat belas paragraf Chair’s Summary itu merefleksikan belum menyatunya pandangan negara-negara anggota G20 terhadap perang Rusia-Ukraina. Termasuk di dalamnya adalah dampak perang itu sendiri, yang sebenarnya merugikan seluruh negara.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam pertemuan dengan media di akhir pertemuan 3rd FMCBG mengatakan, seluruh pihak sudah bekerja keras sepanjang pertemuan. Kesimpulan yang diumumkan pada Sabtu (16/7) adalah pencapaian maksimal yang bisa diperoleh, di luar harapan yang dimiliki semua pihak.
“Chair’s Summary terdiri dari empat belas paragraf, dua belas paragraf sudah disepakati, dua paragraf masih ada ketidaksetujuan di dalamnya, terkait perang, dampak dan bagaimana dunia meresponnya,” ujar Perry.
Chair’s Summary terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dengan dua paragraf belum disepakati bersama, dan bagian kedua dengan dua belas paragraf yang telah disetujui.
Dua kesimpulan yang belum disetujui tersebut adalah:
1.Banyak anggota setuju bahwa pemulihan ekonomi global telah melambat dan menghadapi kemunduran besar sebagai akibat dari perang Rusia melawan Ukraina, yang dikecam keras, dan menyerukan diakhirinya perang. Salah satu anggota menyatakan pandangan bahwa sanksi tersebut menambah tantangan yang ada.
Anggota mencatat bahwa tantangan yang ada telah diperburuk, termasuk ketidaksesuaian pasokan-permintaan, gangguan pasokan, dan peningkatan harga komoditas dan energi, yang telah menambah tekanan inflasi yang meningkat dan berkontribusi pada peningkatan risiko kerawanan pangan.
Banyak anggota mencatat pentingnya tindakan lanjutan terhadap perubahan iklim, serta mengatasi kerentanan utang. Beberapa anggota menyambut baik Catatan Presidensi G20 tentang Penetapan Kebijakan untuk Strategi Keluar untuk Mendukung Pemulihan dan Mengatasi Efek Bekas Luka untuk Mengamankan Pertumbuhan di Masa Depan.
BACA JUGA: Deklarasi Bali: Inisiatif Global Memerangi Aliran Keuangan Gelap2.Mayoritas anggota sepakat bahwa ada peningkatan kerawanan pangan dan energi yang mengkhawatirkan, yang dirasakan secara tidak proporsional oleh kelompok rentan. Beberapa juga menyatakan keprihatinan tentang ketersediaan pupuk yang berpotensi memperburuk krisis pangan.
Anggota menegaskan komitmen mereka untuk menggunakan semua alat kebijakan yang tersedia untuk mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini, termasuk risiko kerawanan pangan. Banyak anggota siap untuk mengambil tindakan kolektif yang cepat mengenai ketahanan pangan, termasuk dengan bekerja dengan inisiatif lain. Anggota mendukung inisiatif multilateral.
Beberapa anggota meminta lembaga keuangan internasional untuk mengimplementasikan komitmen dalam Rencana Aksi untuk Mengatasi Kerawanan Pangan. Anggota juga menyambut baik Seminar Tingkat Tinggi tentang Penguatan Kolaborasi Global untuk Mengatasi Kerawanan Pangan. Para anggota sepakat untuk menjaga stabilitas keuangan dan kesinambungan fiskal jangka panjang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajak seluruh pihak untuk lebih melihat dua belas paragraf yang telah disepakati, dibanding dua yang belum.
“Beberapa negara memiliki pandangan terkait perang ini, sedangkan beberapa yang lain memiliki pandangan berbeda, dan karena itu kami menempatkanya dalam summary ini yang benar-benar merefleksikan isu tersebut yang belum menemukan titik temu, tetapi mayoritas isu sebenarnya didukung dan disetujui oleh semua pihak,” ujarnya.
“Dan menurut saya, ini adalah hasil terbaik, di mana semua negara anggota dan organisasi internasional sangat peduli, bahwa dunia membutuhkan kerja sama yang lebih baik,” tambahnya.
Sri Mulyani juga memastikan semua negara menyadari - tidak peduli seberapa kaya dan kuat mereka - tidak ada yang mampu mengatasi persoalan sendirian. Terutama jika menyangkut keamanan pangan, keamanan energi, perubahan iklim, pandemi, dan inflasi. Karena itu pulalah, seluruh negara sepakat untuk melanjutkan kerja sama dan multilateralisme.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani juga menyebut seluruh pihak menyadari dampak inflasi global, ketahanan energi dan pangan. Pandemi COVID 19 dan perang di Ukraina menjadi faktor yang penting. Negara-negara juga membicarakan tentang strategi yang bisa diterapkan untuk keluar dari krisis ini.
“Kita juga memahami ketersediaan dan permintaan supply yang sudah tidak seimbang karena pandemi, semakin diperparah dengan berbagai tantangan-tantangan yang berasal dari ketegangan geopolitik yang juga menciptakan gangguan dan peningkatan harga komoditas dan harga energi,” kata Sri Mulyani.
Gandum Memukul Indonesia
Dalam diskusi Konflik Rusia-Ukraina: Dampak Terhadap Kinerja Perdagangan dan Harga Gandum/Terigu di Indonesia yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) persoalan ini juga disinggung. Indonesia adalah negara yang sangat terdampak krisis ini, misalnya dalam sektor gandum. Indonesia tidak memproduksi gandum, tetapi begitu banyak pangan diproduksi dari bahan ini.
Dr Sahara, pakar ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam diskusi ini mengatakan, ada sejumlah faktor sebenarnya yang mempengaruhi harga pangan dan energi dunia. Faktor itu antara lain, kondisi cuaca buruk, kekeringan, gelombang panas, dan kenaikan permintaan karena perbaikan kondisi terkait pandemi COVID-19. Pada sisi yang lain, kenaikan harga energi mendorong kenaikan imput pertanian seperti pupuk.
“Kita tahu kontraksi pada penawaran global yang diikuti dengan kenaikan harga pangan global akan berdampak terhadap harga dan suplai pangan di Indonesia, termasuk gandum. Kita tahu, gandum itu bukan merupakan tanaman asli Indonesia, sehingga Indonesia masih mengimpor gandum dalam bentuk biji gandum dan tepung gandum,” papar Sahara.
Data menunjukkan pada 2021 impor gandum Indonesia senilai $3,5 miliar atau Rp49 triliun, dan menurut Sahara, angka itu sangat tinggi. Jumlah impor biji gandum mencapai lebih 11 juta ton dengan 4,6 juta ton dari Australia, 3 juta ton dari Ukraina, 1,9 juta ton dari Kanada, dan sisanya dari sejumlah negara lain.
“Dari quantity kita lihat 11 juta ton yang kita impor dari luar negeri, dan kalau kita lihat sumber impor utama Indonesia itu dari Australia, tetapi Ukraina itu ternyata peringkat kedua. Perang di Ukraina dan Rusia, itu tentu saja akan berdampak terhadap ketersediaan dan harga gandum di Indonesia,” kata Sahara.
Sedangkan dalam bentuk tepung, pada 2018 dan 2019 Ukraina menduduki peringat kedua sebagai sumber impor. Tahun 2018, Indonesia mengimpor 61,7 juta ton tepung gandum dengan 20,3 juta ton dari Ukraina. Sedangkan 2019, angka impor mencapai 78 juta ton dengan kiriman dari Ukraina mencapai lebih 25 juta ton di posisi kedua terbanyak.
BACA JUGA: Sekjen PBB: Perjanjian untuk Pengiriman Gandum Ukraina segera TerwujudTahun 2020 impor turun drastis menjadi 39 juta ton, dengan Ukraina sebagai importir keempat terbesar, dan 2021 angkanya 31 juta ton dan Ukraina juga tetap di posisi keempat.
“Perang memperburuk situasi kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global. Untuk gandum, pada tahun 2021 di bulan Januari, harganya masih berada pada kisaran $289/metrik ton, di tahun 2022 meningkat menjadi $522/metrik ton,” tambah Sahara. [ns/ah]