Di kamp-kamp Irak utara, orang-orang yang dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh militan ISIS, menggunakan ponsel mereka untuk melacak apa yang terjadi pada properti mereka, menurut periset yang berpendapat pulang kembali ke rumah sendiri, sangat penting untuk membangun masa depan yang aman di negara yang dilanda perang tersebut.
Lebih dari tiga juta orang Irak terusir dari rumah, tanah dan peternakan mereka, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, banyak di antaranya diusir oleh kelompok bersenjata seperti kelompok militan ISIS.
Seiring dengan pasukan pro-pemerintah mengintensifkan perang melawan ISIS, membersihkan militan dari sebagian besar kota Mosul dan kota-kota lain yang pernah mereka tempati, orang-orang yang kehilangan tempat tinggal berharap akan segera kembali ke rumah masing-masing.
Sebelum meninggalkan kamp, mereka tetap aktif mengawasi Facebook dan layanan pesan digital untuk lebih memahami mereka akan kembali untuk apa atau siapa yang mungkin menempati rumah mereka, kata Nadia Siddiqui dari Social Inquiry, sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Irak utara.
Dengan klaim tanah yang bentrok dan hak-hak properti yang lemah di beberapa bagian Irak karena kekerasan yang sudah berjalan bertahun-tahun, menetapkan siapa yang berhak memiliki apa, menjadi penting untuk mengurangi kekerasan dan membangun kepercayaan sosial, Siddiqui mengatakan.
Perangkat digital membantu membangun kepemilikan dengan membiarkan mereka membuat dokumen-dokumen apa saja yang berisi bukti fotografi, surat-surat dan data lainnya yang dapat digunakan di pengadilan untuk membuktikan klaim mereka.
"Dalam jangka panjang, tanah dan properti adalah beberapa akar permasalahan (perselisihan)," kata Siddiqui kepada Thomson Reuters Foundation dari Erbil, Irak.
Perselisihan mengenai properti memperburuk ketegangan komunal atau keagamaan, katanya, dan isu-isu yang masih berlanjut mengenai kepemilikan yang tidak jelas dapat membara dari generasi ke generasi, sehingga sulit membangun ekonomi dan bangkit melewati sejarah kekerasan.
Membersihkan konflik kepemilikan dan membuat proses arbitrase untuk klaim lahan yang bersaing dapat membantu mengurangi ketegangan sosial, katanya
Bukti
Menurut sebuah survei yang diadakan Juli di Erbil yang didukung oleh Social Inquiry, lebih dari 60 persen orang terlantar menggunakan perangkat digital seperti Facebook, telepon kamera dan aplikasi pesan untuk secara aktif memantau status properti mereka.
Rata-rata rumah tangga pengungsi memiliki tiga telepon seluler, kata survei kecil tersebut, yang berarti alat untuk mengumpulkan data tentang properti dapat diakses bahkan bagi mereka yang melarikan diri dari tanah mereka di tengah malam.
Tiga puluh dua persen orang terlantar dalam survei tersebut, berbagi informasi tentang status properti mereka di media sosial.
"Yang menarik dari proses ini adalah warga memiliki bukti ini di telepon mereka atau di halaman Facebook mereka," kata Emily Frank, seorang antropolog yang menjadi eksekutif pemasaran di Montreal, Kanada, yang telah memantau hak kepemilikan di negara-negara yang menghadapi konflik.
Namun, banyak orang tidak menyadari dokumen digital dan foto tanah tempat mereka pernah tinggal dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan atau proses restitusi properti setelah keadaan cukup aman untuk kembali ke rumah, kata Frank.
Selain membantu individu mengklaim rumah mereka dari kelompok bersenjata atau orang lain yang telah menduduki mereka, foto, video dan data digital lainnya menjadi semakin kuat karena banyak orang yang mengungsi mengumpulkannya, katanya.
"Jika lebih banyak orang dapat mengajukan bukti, hal itu menjadi semakin menguat," kata Frank kepada Thomson Reuters Foundation. "Ini akan menjadi proses yang lebih adil dan transparan."
Efek Domino
Jon Unruh, seorang profesor di McGill University di Montreal yang mempelajari hak atas tanah, telah menyaksikan sendiri proses tersebut terjadi pertama kali di Irak.
Unruh mewawancarai seorang pria berusia 76 tahun di Erbil. Setelah melarikan diri dari daerah yang dikuasai IS, pria tersebut meminta seorang kerabat yang masih tinggal di dekat rumahnya untuk berkeliling properti dan berfoto untuk melihat siapa yang tinggal di dalamnya.
IS dan para pendukungnya telah menduduki rumah-rumah di daerah tersebut, dan kelompok militan bahkan mengeluarkan surat kepemilikan properti sendiri, sehingga orang-orang yang dipindahkan menggunakan alat-alat digital dan jaringan keluarga untuk mencoba dan mengumpulkan informasi tentang rumahnya untuk mengklaimnya saat kembali.
Data semacam ini dapat dipresentasikan di depan panel arbitrase pemerintah atau melalui sebuah rencana keadilan transisional dari PBB atau badan internasional serupa ketika orang tersebut berusaha untuk merebut kembali propertinya, kata Unruh.
Pejabat pemerintah Irak yang bekerja untuk restitusi properti tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Irak, badan terkait UE yang bekerja dengan pemerintah untuk restitusi properti untuk pengungsi, tidak dapat memberikan komentar.
"Pemerintah Irak sangat prihatin dengan orang-orang yang kembali ke daerah yang dikuasai ISIS, akan menggunakan kekerasan bersenjata untuk menyelesaikan perselisihan properti mereka," kata Unruh kepada Thomson Reuters Foundation.
"Orang yang kembali yang menemukan harta benda mereka hancur, pindah ke rumah orang lain. Ketika si pemilik rumah tersebut kembali, akan muncul konflik - Ini menciptakan efek domino." [aa/fw]