Peraturan yang Lemah Sebabkan Perkelahian di Parlemen Taiwan

Anggota legislatif Partai Demokratik Progresif (DPP) Chao Tien-lin, pergi dan bentrok dengan legislator Kuomintang (KMT) oposisi selama pertemuan anggaran untuk program pembangunan infrastruktur, di Badan Legislatif Yuan di Taipei, Taiwan, 18 Juli 2017.

Selama lima sidang berturut-turut bulan ini parlemen Taiwan mendapat perhatian dunia. Bukan karena undang-undang yang diloloskannya, melainkan karena perkelahian yang terjadi di ruang parlemen. Perkelahian semacam itu, yang kerap terjadi, telah mengguncang parlemen karena lemahnya peraturan dan kesepakatan tak tertulis untuk menghindarkan pelaku dari hukuman.

Selama dua tahun ini, aksi-aksi agresif seperti saling dorong, melempar kursi dan menjambak sesama legislator tak ada yang diajukan ke Komite Disiplin di parlemen, yang dapat menskors pelakunya untuk hadir lagi di parlemen, kata sekretaris eksekutif komite itu hari Kamis. Ketua-ketua parlemen jarang menggunakan kewenangan mereka untuk memanggil polisi guna menghentikan serangan, kata para cendekiawan di Taipei.

Perkelahian antaranggota parlemen di Taiwan legal, ujar Liu Yin-jiun, profesor di Fo Guang University, Taiwan. Mereka tidak pernah berusaha mengatur tentang perilaku para legislator, meskipun mereka membuat orang lain cedera parah, lanjutnya.

Taiwan dikenal sejak tahun 1980-an karena perkelahian di parlemen, yang kerap diawali oleh para anggota partai oposisi yang berusaha menghalangi anggota partai mayoritas maju ke podium. Blokade ini dapat menghambat pemungutan suara mengenai isu-isu yang diperdebatkan dengan sengit.

Sementara anggota partai mayoritas melawan, seringkali sejumlah legislator memukul, menjambak, menarik dasi atau melempar berbagai benda. Tiga orang dirawat setelah perkelahian pada Desember lalu. [uh/lt]