Tim Gabungan Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pomdam I Bukit Barisan dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara menggagalkan perdagangan satwa dilindungi berupa sisik tenggiling sebanyak 1.180 kilogram di Kota Kisaran, Sumatera Utara. Empat pelaku ditangkap dan tiga di antaranya merupakan aparat keamanan.
VOA - Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam jumpa pers, Selasa (26/11), membeberkan aksi penggagalan sehari sebelumnya itu.
“Dalam operasi ini berhasil diamankan 1.180 kilogram (1,18 ton) sisik tenggiling dan empat orang pelaku yakni AS (warga sipil), MYH (anggota TNI), RS (anggota TNI), dan AHS (anggota Polri). Ada tiga orang aparat yang terlibat. AS sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik KLHK dan saat ini ditahan di Rutan Tanjung Gusta. Ketiga aparat lainnya sedang dalam penanganan oleh instansi yang terkait,” katanya,
Rasio menjelaskan pengungkapan kasus perdagangan sisik tenggiling itu dilakukan di dua lokasi berbeda. Pertama, di salah satu loket bus Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kisaran, ditemukan barang bukti 9 kardus berisi sisik tenggiling dengan berat total 322 kilogram.
“Lokasi kedua di gudang rumah MYH, Kelurahan Siumbut-umbut Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, petugas menemukan barang bukti 21 karung berisi sisik tenggiling seberat 858 kilogram,” jelasnya.
Rasio mengatakan penindakan perdagangan 1,18 ton sisik tenggiling ini merupakan penindakan terbesar yang pernah dilakukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Ia menjelaskan, perrbuatan yang dilakukan oleh para pelaku merupakan kejahatan luar biasa karena untuk mendapatkan 1,18 ton satwa bersisik pemakan serangga itu setara dengan membunuh 5.900 ekor tenggiling.
Tenggiling merupakan satwa yang dilindungi karena memiliki peran penting bagi ekosistem Tenggiling berfungsi menjaga populasi semut, rayap, dan serangga lainnya. Tenggiling juga mempunyai fungsi menyuburkan kawasan hutan. “Jadi kalau dibunuh sebanyak 5.900 ekor tenggiling maka kerugian lingkungan mencapai Rp298,5 miliar. Kerugian lingkungan yang sangat signifikan,” ucap Rasio.
Rasio menilai perbuatan yang dilakukan para pelaku merupakan kejahatan serius. Pelaku yang terlibat, katanya, juga harus dihukum dengan maksimal agar memberikan efek jera. “Dalam konteks ini kami memahami bahwa sangat besar kemungkinannya sisik tenggiling dikirim ke luar negeri. Diduga ini berkaitan dengan kejahatan lintas negara,” ujarnya.
Kendati demikian, Tim Gabungan Penegak Hukum KLHK belum bisa membeberkan peran masing-masing keempat pelaku itu. Mereka juga belum bisa memerinci asal usul tenggiling yang diduga diperoleh dari hutan-hutan yang ada di Pulau Sumatra. Tiga pelaku yang merupakan anggota TNI dan Polri masih dalam proses pemeriksaan di masing-masing kesatuannya.
Dalam kasus ini AS dijerat Pasal 40A ayat (1) Huruf f juncto Pasal 21 Ayat (2) huruf c Undang-undang No 32 Tahun 2024 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Ancaman hukumannya sekarang lebih berat yaitu paling singkat empat tahun dan maksimal 20 tahun,” tandas Rasio.
Sementara itu Asisten Tindak Pidana Kejaksaan Tinggi Sumut, Ahmad Yusuf Ibrahim, mengatakan pihaknya telah menerima surat pemberitahuan penyidikan terhadap tersangka AS pada 19 November 2024. “Sudah ditetapkan untuk penunjukan jaksa penyidik. Kami juga menunggu untuk proses penyidikan lebih lanjut sampai sejauh mana penanganan perkara ini. Dalam waktu dekat kami berharap berkas itu sudah diterima,” katanya.
Aktivis perlindungan satwa, Arisa Mukharliza, mengatakan, perdagangan satwa liar diakui sebagai salah satu bentuk kejahatan yang terorganisasi. “Perdagangan satwa liar masuk ke dalam lima besar bentuk kejahatan lintas negara,” katanya.
Arisa menyoroti soal jumlah populasi tenggiling di Indonesia yang belum diketahui sehingga sulit untuk memproteksi satwa dilindungi itu.
“Tenggiling berstatus critically endangered tapi permasalahannya adalah belum ada yang dapat menghitung jumlah populasinya di Indonesia. Mungkin itu juga yang menjadi pemicu perdagangan sisik tenggilingtenggiling kerap terjadi karena lemahnya proteksi patroli maupun kesadaran hingga memonitor area yang pintu keluar seperti bandara, pelabuhan, dan pelabuhan tradisional yang sulit dipantau oleh petugas,” pungkasnya.
Tenggiling sangat terancam karena menjadi target perburuan liar. Status konservasi dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) adalah appendix 1 yang artinya tidak boleh diperjualbelikan. [aa/ab]