Perempuan AS Lihat Ke Masa Depan Pasca Pemilu Bersejarah

  • Carolyn Presutti

Para pendukung Hillary Clinton menghadiri acara pemilu di Jacob Javits Convention Center di New York (8/11).

Hillary Clinton kalah dalam pemilihan presiden, namun 21 perempuan -- jumlah terbesar yang pernah ada -- akan menjadi senator AS.

Putri Meryem Bencheikh berulang tahun ke-6 kemarin. Setiap hari sejak ia mulai bersekolah, ia punya pernyataan baru.

"Ia mengatakan, hari Rabu Hillary akan menjadi presiden," ujar Bencheikh. Perempuan Muslim yang besar di Maroko itu tidak sanggup mengatakan kepada anaknya bahwa Hillary Clinton kalah.

Hal ini menjadi dilema yang dihadapi banyak ibu setelah pemilihan presiden hari Selasa. Hanya sehari sebelumnya, para ibu bergandengan tangan dengan putri-putri mereka menuju tempat pemungutan suara.

"Ini mengubah hidup," ujar seorang perempuan asal Tribeca yang memberikan suara di kota New York, dengan dua putrinya yang berusia lima dan enam tahun saat mereka berjalan keluar dari bilik suara.

"Putri-putri saya akan selalu tahu bahwa perempuan bisa jadi presiden jadi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan kepada mereka mereka tidak dapat berbuat apa-apa."

Hillary Clinton menyadari simbol dirinya bagi banyak perempuan, dari anak-anak sekolah dasar sampai mahasiswi dan banyak lagi. Ia menyebut mereka dalam pidato kekalahannya.

"Jangan ragukan bahwa Anda berharga dan berdaya dan pantas mendapat setiap kesempatan dan peluang di dunia ini untuk mengejar dan mendapatkan mimpi-mimpi Anda," ujar Clinton.

Pemilihan ini memberikan perempuan hal pertama lain dalam sejarah. Para pemilih memastikan bahwa 21 persen -- jumlah terbesar yang pernah ada -- akan menduduki kursi Senat. Namun pemilihan presiden adalah cerita lain.

Perempuan Kulit Putih Pilih Trump

Jajak-jajak pendapat di TPS menunjukkan bahwa perempuan berkulit putih memilih kandidat Partai Republik Donald Trump atas Clinton dengan angka 10 persen, sementara laki-laki kulit putih lebih suka Trump dengan angka 12 persen. Beberapa analis ilmu politik menyebutkan para kandidat perempuan menghadapi diskriminasi gender dari para pemilih yang tidak mau mengakui pilihan mereka kepada para pembuat jajak pendapat.

political science analysts, including Hamlin University’s David Schultz, suggest women candidates face gender discrimination from voters who will not admit their choice to pollsters.

“Saya kira ada persentase besar dari populasi kita yang tidak akan memilih perempuan menjadi presiden Amerika Serikat," ujar David Schultz dari Hamlin University.

Mudah menyalahkan pemilih laki-laki untuk hal ini, namun Linda Crozier, salah satu pemilih Trump di Pennsylvania mengatakan, perempuan tidak "memiliki hak" untuk jadi presiden. Crozier menyebut emosi perempuan sebagai faktor penyebabnya.

Melihat ke Masa Depan

Hal itu jauh dari sentimen pada malam pemilihan presiden di kubu Clinton hari Selasa malam di Jacob Javits Convention Center, kota New York.

Coline Jenkins berkeliling di ruangan besar itu, menarik perhatian karena membawa foto hitam putih nenek buyutnya, Elizabeth Cady Stanton, yang merupakan pemimpin gerakan hak perempuan untuk memilih. Setelah kematiannya, amandemen ke-19 disahkan tahun 1919, melarang diskriminasi pemberian suara berdasarkan gender.

Jenkins mengatakan ia tetap optimistis meskipun banyak hambatan. Ketika berhadapan dengan kekalahan terbaru bagi feminisme, Jenkins mengatakan Stanton, jika masih ada, akan melihat ke masa depan.

"Ia akan bertanya, 'Apa langkah berikutnya?'" ujar Jenkins.

Saat Clinton memberikan pidato kekalahan di Hotel Wyndham New Yorker, ratusan pendukungnya yang sebagian besar perempuan, berbaris di luar bangunan.

Mereka termotivasi untuk melihat Clinton keluar dan berjalan ke mobilnya. Patricia Meonopiciade hampir tidak dapat melihatnya karena kerumunan orang. Tapi ia mengatakan ia datang untuk mengambil tindakan.

“Saatnya untuk keluar dan aktif kembali. Dalam politik," ujarnya. [hd]