Perempuan di Kamp Pengungsi Rohingya Suarakan Aspirasi Sesama Perempuan

Nur Begum (kanan, 50 tahun) perempuan etnis Rohingya yang ikut mengungsi, menjadi relawan LSM Pulse yang menjadi mitra UNICEF di kamp Cox's Bazar, Bangladesh.

Sebagian pengungsi perempuan di Bangladesh mungkin masih mengalami keterbatasan dalam komunitasnya. Warga etnis Rohingya masih sangat tradisional dan didominasi laki-laki. Tetapi seperti yang disampaikan wartawan VOA Dave Grunebaum, sebagian perempuan itu telah terpilih untuk menjalankan peran-peran penting dalam komunitasnya.

Tahera Begum mendatangi para pengungsi dari pintu ke pintu untuk mendengarkan keluh kesah mereka.

"Kami membawa beberapa pakaian dari Myanmar, tetapi telah robek karena (dimakan) tikus-tikus," tuturnya.

Isu-isu yang muncul mulai dari pakaian, pembalut sampai permintaan akan lebih banyak penerangan di toilet pada malam hari. Sebagian dari isu-isu itu mungkin terdengar sederhana, tapi para pengungsi hidup seadanya dan mengurus hal-hal kecil di kamp, tidak semudah yang dibayangkan.

Sejak Agustus 2017, lebih dari 700.000 Muslim Rohingya telah lari dari Myanmar ke negara tetangga, Bangladesh, karena penindasan militer yang kata para penyelidik PBB bertujuan melakukan genosida. Myanmar membantah tuduhan itu.

Para pengungsi kini tinggal kamp-kamp yang padat. Toilet yang digunakan oleh banyak keluarga cepat kotor. Terkadang air bersih langka di beberapa bagian kamp.

Tahera Begum dipilih oleh para pengungsi ke dalam komite kamp yang mewakili para pengungsi dalam rapat-rapat dengan badan pengungsi PBB. Komite-komite itu tidak punya kewenangan untuk mengesahkan aturan di kamp-kamp. Keputusan itu dibuat oleh pemerintah Bangladesh. Tapi keprihatinan yang dibahas dalam rapat-rapat itu kemudian diteruskan kepada pemerintah serta LSM-LSM yang bekerja di kamp-kamp itu.

Sejauh ini baru empat dari 34 kamp pengungsi yang memiliki komite, tapi badan pengungsi PBB mengatakan berharap untuk meningkatkan jumlahnya dalam 12 bulan ke depan. Setiap komite kamp memiliki jumlah laki-laki dan perempuan yang sama.

"Saya ingin menjadi anggota komite karena perempuan diperlukan karena ada beberapa isu yang perempuan tidak nyaman membicarakannya dengan laki-laki," tambah Tahera Begum.

Seorang pengungsi perempuan, Shahana Akter, setuju.

"Ada banyak hal yang perempuan tidak mau membicarakannya langsung kepada laki-laki, karenanya bagus ada perempuan untuk membantu kami," tukasnya.

Komunitas Muslim Rohingya konservatif dan didominasi laki-laki. Masih belum jelas apakah dengan adanya perempuan dalam komite itu akan bisa mengurangi pola patriarkal di sana.

Anggota komite lainnya adalah Ayesha Khatun, 21 tahun. Dia melihat dirinya sebagai seseorang yang bisa membantu sesama pengungsi dan juga menjadi panutan bagi para perempuan muda dan anak-anak perempuan di kamp-kamp itu.

"Saya bisa membantu sesama pengungsi dan memberi contoh kepada orang lain bahwa mereka juga bisa membantu," kata Ayesha.

Para pekerja dari beberapa organisasi LSM mengatakan kepada VOA masih ada sejumlah pengungsi yang menolak adanya perubahan dalam pola patriarkal dalam masyarakat.

Tradisi lama dan batasan gender memang sulit diubah, tapi yang satu ini mungkin bisa menjadi langkah awal. (vm)