Perempuan yang bekerja di kantor-kantor media yang berbasis di Sulaymaniyah mengatakan mereka kerap menjadi korban pelecehan seksual. Hawraz Ahmad yang mulai bekerja sebagai wartawan sepuluh tahun lalu mengatakan seorang petugas keamanan pernah mengajaknya berselingkuh.
“Saya diajak berselingkuh oleh seorang pejabat keamanan, atau seorang pejabat partai. Ini benar-benar terjadi. Ketika Anda menjadi wartawan di Kurdistan, maaf saya harus mengatakan hal ini, mereka merasa Anda akan lengah. Padahal tidak demikian. Wartawan adalah profesi. Ironisnya di kawasan Kurdistan dan Irak, jurnalistik tidak dianggap sebagai bidang profesi. Jika pekerjaan jurnalistik dinilai berat bagi laki-laki, maka sesungguhnya hal ini sepuluh kali lebih berat bagi perempuan," paparnya.
Ia kemudian mendatangi kantor polisi untuk melaporkan hal itu, tetapi ia diberitahu bahwa karena profesinya sebagai wartawan maka ia seharusnya siap menghadapi konsekuensi itu.
BACA JUGA: AS Dorong Upaya Melawan Kekerasan terhadap PerempuanSejak itu ia tidak lagi pergi ke kantor polisi, tetapi lebih memilih mendiskusikan insiden itu secara terbuka dan berbicara lantang di media.
“Saya pribadi menghadapi situasi-situasi ini, dan saya tidak menghindari hal itu. Wartawan lain mungkin tidak dapat menyatakannya secara gamblang dan terbuka, tetapi saya ingin menegaskan bahwa benar adanya ketika dikatakan pelecehan seksual terjadi di kantor-kantor media atau di sebagian kantor media," kata Hawraz.
"Sebagian besar wartawan perempuan tidak menyampaikan keberatan mereka karena khawatir akan kehilangan pekerjaan mereka, yang merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Apalagi sekarang sedang terjadi krisis ekonomi di sini," lanjutnya.
Secara terpisah seorang pembaca berita di Nalia Media, Tevger Sherko, mengatakan pelecehan seksual tidak saja terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga verbal.
“Jika tidak pelecehan fisik, mereka melakukan pelecehan verbal. Ini juga terjadi di media sosial, lewat kritik dan komentar. Saya adalah seseorang yang menghadapi jenis pelecehan ini, terutama ketika saya mempublikasikan sebauh foto, atau video, atau menyampaikan pandangan tentang suatu topik. Mereka semua memberikan komentar yang umumnya bersifat melecehkan. Sebagai wartawan, dan khususnya perempuan, kita terus menerus mengalami pelecehan seperti ini.”
Ia mengatakan perempuan yang bekerja di media-media di kawasan Kurdi, Irak, “terus menerus terpapar” pelecehan. Pelecehan ini, tambah Sherko, juga terjadi pada perempuan di dunia maya di mana orang-orang kerap meninggalkan pesan atau pernyataan tidak senonoh di media sosial.
Hal senada disampaikan Chiya Majid, seorang pembawa berita di NRT.
BACA JUGA: Puluhan Perempuan Yazidi Diberdayakan Jadi Anggota Pasukan Elite Kurdi“Saya sendiri belum pernah menghadapi pelecehan seksual, tetapi mungkin sekali orang-orang di bidang lain pernah mengalaminya. Sebagian menceritakannya pada saya. Tetapi saya ingin mengklarifikasi bahwa pelecehan seksual tidak saja terjadi di sektor media, tetapi di semua sektor. Oleh karena itu merupakan hal penting ketika kita menyoroti hal ini, agar dapat menemukan cara mengatasi dan mengurangi kasus-kasus semacam ini.”
Metro Center, sebuah badan yang mendokumentasikan kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami wartawati di kawasan Kurdi, mengatakan isu ini terus meningkat setiap tahun. Sedikitnya dua perempuan di bidang pemberitaan “telah menghadapi pelecehan seksual.”
“Ironisnya isu ini dari tahun ke tahun terus meningkat di kawasan Kurdistan. Setiap tahun di Metro Center, kami mendokumentasikan sejumlah kasus. Sejumlah survei menunjukkan bahwa 50% wartawati dan staf kantor media telah mengalami kekerasan seksual," kata Direktur Metro Center, Diyari Muhammad. [em/jm]