Seorang perempuan di China yang belum menikah, pada Selasa (9/5), menyampaikan permohonan terakhir terhadap kebijakan sebuah rumah sakit yang menolak membekukan sel telurnya lima tahun lalu, yang merupakan satu kasus penting tentang hak reproduksi perempuan di negara itu.
Kasus Teresa Xu itu mendapat perhatian luas media di China, termasuk beberapa media pemerintah, sejak ia pertama kali membawa kasusnya ke pengadilan tahun 2019. Ia kalah dalam gugatan hukum di pengadilan Beijing pada tahun lalu, yang memutuskan bahwa rumah sakit tidak melanggar haknya.
Putusan mendatang akan menimbulkan dampak kuat bagi kehidupan banyak perempuan yang belum menikah di China, dan perubahan demografis negara itu, terutama setelah penurunan populasi besar-besaran dalam beberapa dekade.
Di China belum ada undang-undang yang secara eksplisit melarang mereka yang belum menikah untuk mendapatkan layanan seperti perawatan kesuburan, dan hanya menyatakan bahwa “suami dan istri” dapat memiliki hingga tiga anak. Tetapi dalam praktiknya, rumah-rumah sakit dan institusi lain memberlakukan aturan yang mengharuskan orang menunjukkan surat nikah mereka.
Xu ingin menyimpan sel telurnya sehingga dapat berkesempatan memiliki anak kelak. Ia adalah salah seorang perempuan yang menghadapi kesulitan mengakses fasilitas perawatan kesuburan.
Pada tahun 2018 lalu, Xu, yang ketika itu berusia 30 tahun, pergi ke rumah sakit umum di Beijing untuk menanyakan tentang proses pembekuan sel telur. Tetapi setelah pemeriksaan awal dia diberitahu bahwa tanpa surat nikah maka proses berikutnya tidak dapat dilanjutkan.
Menurut putusan yang diterimanya tahun lalu, rumah sakit menilai pembekuan sel telur menimbulkan risiko kesehatan tertentu. Pihak rumah sakit menambahkan bahwa layanan pembekuan sel telur hanya tersedia bagi perempuan yang tidak bisa hamil secara alami, dan bukan untuk pasien yang sehat.
Namun putusan itu juga menyatakan bahwa menunda kehamilan dapat membawa risiko bagi ibu selama kehamilan, dan “masalah psikologis dan sosial” jika ada perbedaan usia yang jauh diantara orang tua dan anaknya.
Setelah sidang pada hari Selasa itu, Xu mengatakan kepada wartawan bahwa penolakan rumah skait itu merupakan pelanggaran terhadap haknya atas otonomi tubuh, dan memilih akan terus berjuang karena ini merupakan masalah yang sangat penting bagi perempuan lajang.
“Seiring berkembangnya kasus ini, saya pun telah semakin dewasa. Saya tidak akan menyerah begitu saja,” ujarnya.
Belum jelas kapan pengadilan akan menjatuhkan putusannya, tambah Xu. [em/rs]