Perempuan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil Butuh Solusi Pemasaran

  • Nurhadi Sucahyo

YSKK mendampingi lebih 300 perempuan pelaku usaha di Gunungkidul, Yogyakarta. (Foto:YSKK)

Dampak pandemi terhadap sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang digerakkan perempuan ternyata lebih terasa. Sejumlah program bantuan dan penyelamatan usaha dilakukan, tetapi banyak yang dinilai tidak tepat sasaran. Salah satunya dibuktikan melalui riset Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) pada kelompok usaha kecil dampingan mereka di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

Iwan Setiyoko, Direktur YSKK mengatakan, pangkal permasalahan ada pada data. Sejak lama, data menjadi celah yang membuat program pemerintah tidak tepat sasaran, dan pandemi memperparah dampak salah data tersebut.

Iwan Setiyoko, Direktur YSKK. (Foto: Iwan)

“Temuan kami di lapangan, permasalahan muncul karena data yang tidak sinkron, antara dari dinas dan data di lapangan, sehingga banyak dari teman-teman dampingan perempuan pelaku usaha tidak terdata di dinas terkait,” kata Iwan kepada VOA.

Karena data yang tidak sinkron, lanjut Iwan, program lanjutan seperti penguatan kapasitas menjadi tidak tepat sasaran. Banyak perempuan pelaku usaha yang benar-benar memiliki produk, justru tidak masuk dalam program itu.

YSKK mendampingi lebih dari 300 perempuan pelaku usaha di Gunungkidul. Terkait modal usaha, mereka dinaungi oleh tiga koperasi wanita yang sampai saat ini mampu menjalankan kegiatannya dengan baik. Koperasi bahkan membuat program baru, bagi perempuan pelaku usaha yang terdampak pandemi, diberikan fasilitas penundaan pembayaran cicilan pinjaman.

“Tetapi di masa pandemi ini adalah masalah di bidang pemasaran. Bagaimana seharusya dinas bisa memfasilitasi produk yang ada di masing-masing kelompok, untuk dihubungkan dengan jalur pasar, karena selama ini pasar mereka lebih ke lokal dan hanya mengandalkan jaringan yang dimiliki,” kata Iwan.

Perempuan pelaku usaha juga turut membantu ekonomi keluarga. (Foto: YSKK)

YSKK juga meyakini, dalam situasi sangat sulit saat ini, peran lembaga ekonomi lokal seperti koperasi wanita sangat vital. Peran itu terutama dalam memperkuat daya tahan perempuan pelaku usaha mikro kecil, agar dapat tetap berproduksi selama pandemi.

Dengan jaminan kredit permodalan dan kebijakan penundaan pembayaran kredit, koperasi wanita memberi peluang perempuan melakukan diversifikasi produk maupun penggantian jenis usaha sesuai kebutuhan pasar.

Riset ini membuktikan, sekitar 93 persen usaha mikro kecil yang dilakukan perempuan mengalami penurunan produksi hingga 80 persen. Kondisi itu terutama pada sektor olahan makanan dan minuman lokal. Penurunan produksi berdampak pada penurunan pendapatan perempuan, yang selama ini ikut memperkuat pendapatan keluarga.

Suntikan Bantuan Selektif

Ekonom Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Prof Elfindri menilai, memang ada sejumlah program pemerintah yang butuh penyesuaian. Apalagi, pandemi telah berjalan lebih sembilan bulan, dan sektor ekonomi berubah secara dinamis.

Perempuan pelaku usaha mikro dan kecil dampingan YSKK di Gunungkidul, Yogyakarta. (Foto: YSKK)

Di bulan awal pandemi, menurutnya, tepat jika pemerintah memberikan bantuan tunai atau bahan makanan, karena secara tiba-tiba perubahan terjadi. Namun dalam jangka menengah, katanya, program harus diarahkan ke usaha produktif. Agar lebih tepat, tambahnya, harus ada identifikasi potensi usaha, apakah masih bisa berjalan atau tidak.

“Oleh karenanya, pada masa middle impact policy, seharusnya desain bantuan itu lebih produktif. Misalnya pada UMKM, tidak semua pengelola UMKM bisa diberi fresh money, karena bisa saja mereka akan salah alokasi. Mereka akan memenuhi konsumsi, tetapi usaha mereka tidak berjalan baik,” kata Elfrindi.

Karena itulah pendataan di tengah masa pandemi menjadi penting. Pemerintah harus tahu, usaha mana yang masih berpotensi sehat, dan mana yang sama sekali tidak bisa diharapkan.

Elfrindi menambahkan, jika pemerintah mau memberikan suntikan modal, sebaiknya hanya diberikan pada UMKM yang masih memiliki prospek meningkatkan nilai tambahnya.

“Kalau itu yang diinjeksi, dia akan akumulasi. Bantuan kepada orang sehat, akan membuat dia semakin sehat, dan kemudian membuat orang lain bisa bekerja,” lanjut Elfrindi.

Ekonom Universitas Andalas, Padang, Prof Elfrindi. (Foto: Elfrindi)

Bantuan pemerintah dalam kondisi saat ini, tidak boleh didasarkan pada sektor, apakah itu besar atau kecil tetapi terhadap produk. Siapa pun yang memproduksi barang dengan potensi bisnis masih bagus, pemerintah harus membantunya.

Pertimbangannya, kata Elfrindi, produk yang laku membuat usaha berjalan dan selanjutnya berpotensi menyediakan lapangan pekerjaan. Produk harus dikelompokkan sebagai primer, sekunder dan tertier. Produk primer, yang selalu dibutuhkan masyarakat, baik usaha besar atau kecil sebaiknya diberikan bantuan.

“Yang kita injeksi adalah yang ada demand. Sektor yang ada hubungan dengan Covid, seperti pembuatan masker, kalau kurang modal, jangan ragu perbankan masuk. Atau pemerintah dengan skema bunga rendah,” tambahnya.

Jika perlu, usaha kecil harus mengubah produk yang tidak diinginkan pasar, ke produk-produk yang saat ini tetap laku di tengah pandemi.

Untuk ketepatan program bantuan semacam ini, lanjut Enfrindi, Bappenas dan Kementerian Keuangan harus melakukan riset dan penyusunan data baru sebagai pijakan menetapkan kebijakan. [ns/ab]