Peringatan 2 Tahun Bencana Alam di Sulteng, Warga Ziarah ke Makam Massal

  • Yoanes Litha

Warga melakukan tabur bunga di lokasi pemakaman massal korban bencana alam gempa bumi 2018. Senin, (28/9/2020) Foto : Yoanes Litha

Meskipun telah berlalu dua tahun, namun peristiwa bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018 masih menyisakan duka bagi warga masyarakat di Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah. Di sisi yang lain para penyintas bencana alam yang telah tinggal di hunian sementara dihadapkan pada persoalan ekonomi karena tidak memiliki pekerjaan.

Tempat Pemakaman Umum TPU Poboya pada Senin, 28 September 2020 cukup ramai dikunjungi warga yang hari itu berziarah ke lokasi makam massal bagi korban bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi dua tahun silam, termasuk diantaranya Clara, seorang penyintas yang sore itu khusyuk berdoa di sisi lima batu nisan, ditemani sejumlah kerabatnya. Kepada wartawan, Clara menceritakan dalam peristiwa bencana alam dua tahun lalu, Ia kehilangan kedua orangtua serta tiga saudara kandungnya yang meninggal dunia akibat likuefaksi di Kelurahan Petobo.

“Waktu itu saya sekeluarga ada di rumah, terus pada saat kejadian papa, mama, kakak sama adik-adik itu lari ke arah yang terdampak,” papar Clara dengan nada sedih.

Sejumlah rujukan menyebutkan likuefaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan tanah akibat besarnya massa dan volume lumpur yang keluar pasca gempa.

Dalam musibah bencana di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 silam likuefaksi terjadi di kelurahan Petobo seluas 180 hektare dan Balaroa seluas 47,8 hektare di Kota Palu.

Foto Udara Lokasi Pemakaman Massal bagi korban bencana alam gempa bumi 2018 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Poboya Indah dengan latar Kota Palu di kejauhan. Senin (28/9/2020) Foto : Yoanes Litha

Pelaksana Tugas Walikota Palu, Sigit Purnomo di tempat yang sama menyatakan di TPU itu ada 1.090 korban bencana gempa bumi yang dimakamkan. Menurutnya meskipun telah berlalu dua tahun, tapi peristiwa itu masih sulit diterima oleh warga kota Palu yang kehilangan anggota keluarga mereka.

“Kita tidak pernah membayangkan dalam satu waktu kita kehilangan keluarga, kehilangan saudara dengan jumlah yang begitu besar tapi tentunya hari demi hari, waktu ke waktu kita berharap kita semua khususnya para keluarga yang kehilangan sanak saudara pada bencana kemarin bisa menerima dan terus mendoakan,” jelas Sigit Purnomo yang sore itu turut berziarah bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Palu.

Mengutip Pusat Data dan Informasi Bencana (PUSDATINA) Sulteng 2019, total korban jiwa per kabupaten/kota yaitu Parigi Moutong, Sigi, Donggala dan Kota Palu mencapai 4.845, di mana 1.016 diantaranya dimakamkan secara massal di Kota Palu dan 705 lainnya hilang. Dahsyatnya kekuatan gempa magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 juga menyebabkan 110 ribu rumah masyarakat mengalami kerusakan berat, sedang dan ringan.

Warga Berharap Pindah ke Hunian Tetap

Rahmatiah (57) penyintas bencana alam likuefaksi asal Petobo yang tinggal di hunian sementara (huntara) Batu Bata Indah Kota Palu, kepada VOA menyampaikan harapannya agar dapat segera mendapatkan hunian tetap (huntap) seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah.

“Kalau hujan banjir di dalam, jadi itulah harapan kami supaya cepat dipindahkan ke huntap karena di sini kasihan.” Rahmatiah mengatakan otorita berwenang sudah berjanji akan memindahkan keluarganya ke hunian tetap di Kelurahan Tondo Talise, tapi belum ada kepastian kapan dapat terealisasi.

Di tahun 2019, pemerintah provinsi Sulawesi Tengah mengungkapkan terdapat 11.788 unit hunian tetap yang akan dibangun di sejumlah lokasi, baik di kota Palu maupun Kabupaten Sigi. Hunian tetap yang ditargetkan rampung pada akhir 2020 itu diperuntukkan para penyintas bencana yang direlokasi dari tempat tinggal mereka yang terkena likuefaksi dan tsunami.

Foto Udara Lokasi Pemakaman Massal bagi korban bencana alam gempa bumi 2018 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Poboya Indah dengan latar Kota Palu di kejauhan. Senin (28/9/2020) Foto : Yoanes Litha

Adriansyah Manu dari organisasi “Sulteng Bergerak” mengatakan warga terdampak bencana alam yang masih tinggal di hunian sementara di Kota Palu rata-rata mengalami kesulitan ekonomi terutama bagi pekerja informal yang kehilangan sumber mata pencaharian akibat pandemi COVID-19.

“Ditambah lagi dengan situasi pandemi saat ini, itu makin sulit buat mereka untuk bertahan hidup di huntara. Dari hasil pengamatan dan survei kami memang masih banyak sekali warga yang tidak punya pekerjaan. Rata-rata mereka pekerja serabutan dan malah sudah ada yang mengemis di lampu-lampu merah,” tambah Adriansyah.

Selain mendesak penyelesaian pembangunan hunian tetap, “Sulteng Bergerak” yang mendampingi lima ribu penyintas di 42 lokasi huntara di kota Palu itu juga mendesak agar pemerintah dapat segera menuntaskan penyaluran dana stimulan, jaminan hidup dan santunan duka yang belum seluruhnya tersalurkan untuk penyintas bencana alam di Kota Palu, Sigi dan Donggala. [yl/em]