Junta militer Myanmar, Kamis (4/1), mengampuni hampir 10.000 tahanan untuk memperingati 76 tahun kemerdekaan dari Inggris. Tetapi, belum jelas apakah mereka termasuk ribuan tahanan politik yang dipenjara karena menentang pemerintahan militer.
Keluarga dan sahabat para tahanan berkumpul di luar Penjara Insein di Yangon yang terkenal selama puluhan tahun sebagai tempat menampung tahanan politik. Mereka memanggil-manggil, melambai-lambaikan tangan dan mengacungkan poster sewaktu bus-bus yang penuh dengan tahanan yang dibebaskan meluncur melalui gerbang penjara, sebelum reuni yang emosional.
Ketua dewan militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengampuni 9.652 tahanan untuk memperingati hari raya tersebut, televisi pemerintah MRTV melaporkan. Dia juga memberi amnesti kepada 114 orang asing yang dipenjara dan akan dideportasi, kata MRTV dalam laporan terpisah.
Identitas orang-orang yang diampuni belum diketahui. Tidak ada tanda-tanda bahwa di antara tahanan yang dibebaskan terdapat Aung San Suu Kyi, yang hampir tidak bisa dihubungi sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilihnya pada Februari 2021.
Suu Kyi (78), menjalani hukuman 27 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah atas rangkaian tuntutan bernuansa politik yang diajukan militer.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi pemantau hak asasi manusia, 25.730 orang telah ditangkap atas tuduhan politik sejak militer mengambil alih kekuasaan. Dari mereka yang ditangkap, 19.930 orang masih ditahan hingga Rabu, lapor AAPP. Setidaknya 4.277 warga sipil, termasuk aktivis prodemokrasi, telah dibunuh pasukan keamanan pada periode yang sama, kata organisasi tersebut.
Pembebasan tahanan secara massal adalah hal biasa pada hari-hari besar di Myanmar. Negara itu menjadi koloni Inggris pada akhir abad ke-19 dan memperoleh kembali kemerdekaannya pada 4 Januari 1948.
Myanmar berada di bawah kekuasaan militer sejak militer mengambil alih kekuasaan. Tindakan militer ini mendapat perlawanan besar-besaran yang kemudian berubah menjadi apa yang oleh beberapa pakar PBB disebut sebagai perang saudara.
Meskipun mempunyai sumber daya manusia yang terlatih dan persenjataan, pemerintah militer tidak mampu menghentikan gerakan perlawanan. Setelah aliansi kelompok etnis minoritas bersenjata melancarkan serangan terkoordinasi terhadap militer pada Oktober lalu di negara bagian Shan di utara dan Rakhine di barat, kini junta menghadapi tantangan medan perang terbesar sejak konflik dimulai. [ka/uh]