Perlu Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanganan Terorisme

  • Fathiyah Wardah

Dian Yulia Novi (tengah), diapit oleh suaminya Nur Solihin (kanan) dan perekrutnya, Tutin, saat persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 23 Agustus 2017. Dian ditangkap karena bermaksud meledakkan bom panci berkekuatan tinggi di Istana Negara pada 11 Desember 2016.

Direktur AMAN Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan pemberdayaan perempuan diperlukan dalam penanganan terorisme.

Mei lalu, masyarakat dikejutkan dengan serangan bom bunuh diri terhadap tiga gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur. Insiden ini melibatkan dua keluarga terdiri dari orang tua dan anak-anak mereka.

Keterlibatan kaum hawa dalam terorisme memang bukan hal baru. Karena itulah, dalam sebuah diskusi yang digelar di the Habibie Center, Kamis (25/10), Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) untuk Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan pemberdayaan perempuan diperlukan dalam penanganan terorisme.

Dwi Rubiyanti menambahkan dalam konteks gerakan global, kaum feminis masih mengkampanyekan bagaimana peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme melalui kerangka perempuan, perdamaian, dan keamanan. Kerangka ini mengacu pada Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1325.

“Di sana disebutkan terkait dengan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pencegahan konflik bersenjata atau konflik lainnya. Kemudian, pentingnya perempuan dilindungi, terutama korbannya, dalam konteks konflik. Ketiga, pentingnya partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik. Keempat, pemulihan dan rehabilitasi,” papar Dwi.

Direktur Aman Indonesia Dwi Rubiyanti (tengah), Budi khamdan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam diskusi di Habibie center, Jakarta, Kamis, 25 Oktober 2018. (Foto: Fathiyah Wardah/VOA)

Dwi Rubiyanti menambahkan akar masalah dari ekstremisme adalah ketidakadilan dan ketidakseimbangan dan hal ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu pendek. Menurutnya yang paling tepat dalam menangani ketidakadilan dan ketidakseimbangan tersebut adalah program-program pemerintah dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan.

Dengan melibatkan perempuan dalam penanganan ekstremisme dan terorisme, kata Dwi Rubiyanti, otomatis akan melihat apa yang terjadi kepada perempuan, menelusuri bagaimana rekrutmen terhadap perempuan, bagaimana perempuan dilibatkan, dan tubuh mereka dipakai untuk ekstremisme, seperti untuk seks.

Dwi Rubiyanti mengatakan perempuan-perempuan bergerak di ranah ekstremisme membawa ideologi kepatuhan yang sangat kuat kepada suami.

BACA JUGA: Perempuan dan Anak Pemantik Detonator

Budi Khamdan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelaskan setidaknya ada tiga identitas yang bisa terbangun di tengah masyarakat dengan tiga bentuk, yakni identitas karena adanya satu otoritas atau legitimasi. Misal, otoritas orang tua menjadikan anak patuh kepada orang tua, otoritas suami menjadikan isteri patuh kepada suami.
Identitas ini, lanjut Budi, juga terjadi dalam tindakan terorisme.

Dia mencontohkan Munawaroh, istrinya, Adit, yang menyembunyikan Noor Din M. Top. Dia dikepung pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror dan akhirnya ditangkap. Dia terlibat terorisme karena patuh kepada suami.

“Yang kasus Surabaya juga sama, ada otoritas orang tua. Isterinya ikut, anaknya ikut karena ada aspek otoritas. Otoritas bisa mempengaruhi orang masuk dalam terorisme, termasuk otoritas ustad,” kata Budi.

Serangan bom bunuh diri terhadap tiga gereja di Kota Surabaya pada Mei lalu itu dilakukan oleh dua keluarga, yang melibatkan orang tua dan anak-anak mereka.

Seorang siswi membawa poster bertuliskan "pelajar tidak takut" dalam pawai memprotes aksi terorisme, sehari setelah serangan teror dan penembakan di Jakarta, 15 Januari 2016.

Budi menambahkan bentuk identitas kedua muncul karena aspek perlawanan. Karena ada satu dominasi yang muncul maka ada satu sisi untuk merobohkan dominasi tersebut. Maka, berbondong-bondonglah perempuan-perempuan dari negara-negara di sekitar Suriah pergi ke negara Syam itu untuk melakukan jihad seks.

Menurut Budi, identitas perlawanan inilah yang membikin beberapa perempuan Indonesia berangkat ke Suriah. Sebab kerangka berpikir mereka adalah bagaimana merobohkan pemerintahan Basyar al-Assad.

Identitas ketiga adalah identitas yang diproyeksikan, dimana perempuan mereposisi dirinya bahwa mereka bukan atas otoritas sseseorang atau lembaga, bukan karena perlawanan, tapi mereka ingin membentuk satu identitas baru. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi aktor utama dalam tindakan terorisme.

BACA JUGA: Kasus Bom Surabaya: Anak Dikorbankan jadi Pelaku Bom Bunuh Diri

Karena sudah ada keterlibatan perempuan dalam terorisme, kata Budi, institusi negara perlu mengarusutamakan gender untuk merespon ketiga bentuk identitas tersebut. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Terorisme mewajibkan perubahan terhadap Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT).

Dalam perspektif masyarakat sipil, lanjut Budi, BNPT harus dalam bentuk komisi, sehingga menjadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme (KNPT). Stuktur kepengurusannya kolektif kolegial, bisa diisi oleh 5-7 komisioner dengan masa jabatan 5-7 tahun.

Lebih lanjut, Budi mengungkapkan komisioner itu diseleksi seperti komisi-komisi lainnya. Yang bisa masuk adalah orang-orang yang bergelut di sektor deradikalisasi, intoleransi, lintas budaya agama, dan konflik sosial, sehingga terbuka untuk umum. Kolektif kolegial ini bisa menjamin perempuan masuk tanpa pengekangan. [fw/as]

Your browser doesn’t support HTML5

Perlu Pemberdayaan Perempuan Dalam Penanganan Terorisme