Sementara koalisi pimpinan AS bersusah payah membasmi kekejaman terkait militan Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS, seperti pemboman Rabu di Baghdad yang menewaskan puluhan orang, ada kekhawatiran bahwa upaya itu bisa terhambat oleh kekacauan politik internal di Irak serta di Turki. Seperti dilaporkan koresponden VOA di Departemen Luar Negeri Pam Dockins, para analis memiliki pandangan beragam mengenai apakah AS dapat dan harus berusaha mempengaruhi dinamika politik internal di kedua negara itu.
Para pendukung ulama Syiah Muqtada al-Sadr menyerbu "Zona Hijau" yang dijaga ketat di Baghdad pada akhir April karena frustrasi dengan kegagalan politisi Irak untuk melakukan reformasi, yang menurut mereka disebabkan oleh korupsi.
Kekacauan politik seperti ini menguntungkan musuh Irak, terutama militan ISIS, kata Wakil Khusus PBB Jan Kubis dalam pengarahan kepada Dewan Keamanan.
Menurut sejumlah analis, mengamankan pemerintahan yang sah dan responsif bisa menjadi kunci untuk stabilitas jangka panjang di Irak.
"Pada akhirnya, kita tidak melihat pemberontakan atau kegiatan teroris pada skala ini di negara-negara di mana pemerintahnya responsif terhadap kebutuhan dan tuntutan populasi mereka," kata Nussaibah Younis dari Atlantic Council, lembaga penelitian swasta di Washington, D.C.
Nussaibah Younis juga mengatakan fokus koalisi yang dipimpin AS pada upaya militer untuk mengusir militan ISIS dari Irak mungkin memiliki hasil yang terbatas.
"Kita tidak akan sepenuhnya mengatasi akar penyebab yang mendorong radikalisasi di Irak kecuali kita benar-benar berurusan dengan apa yang dikemukakan oleh para demonstran ini, yaitu bahwa pemerintah Irak korop dan tidak efisien dan telah benar-benar gaggar memberikan layanan, backan layanan yang paling dasar," jelasnya.
Di Turki, pengunduran diri tiba-tiba Perdana Menteri Ahmet Davutoglu menyebabkan AS kehilangan salah seorang sekutu utamanya di negara itu.
Your browser doesn’t support HTML5
"Ini mempersulit berbagai hal ke depan mengingat Davutoglu sangat terkenal di Washington. Dia adalah, tentu sana, arsitek kebijakan luar negeri Turki selama beberapa tahun terakhir," kata Perry Cammack, dari Carnegie Endowment for International Peace, lembaga yang ikut mengusahakan perdamaian internasional berbasis di Washington, D.C.
Tapi Perry Cammack menambahkan pengaruh AS dalam politik internal Turki kecil.
Sementara itu Departemen Luar Negeri AS menduga Turki akan terus menjadi mitra yang kuat dalam koalisi anti-ISIS meskipun politik internal negara itu mengalami perubahan.
"Turki tidak buta terhadap ancaman yang dihadapinya sendiri, di tanahnya sendiri di sepanjang perbatasan. Jadi Turki sangat sadar," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Elizabeth Trudeau.
Masalah utama bagi AS di kedua negara itu, kata para analis, adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara menawarkan dukungan sementara tidak dianggap campur tangan. [as/lt]