Perselisihan soal NATO Cerminkan Masa Depan Peran AS di Dunia

  • Patsy Widakuswara

Mantan Presiden AS, Donald Trump

Mantan Presiden AS, Donald Trump mengulang kembali pernyataannya, bahwa jika dia terpilih lagi, dia tak akan membela anggota NATO yang tak memenuhi target belanja pertahanan. Situasi ini merupakan cerminan, terkait bagaimana dua presiden Amerika dan pendukungnya terbelah atas peran Amerika di dunia.

Dua tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina, sebuah pernyataan yang mengejutkan para sekutu NATO, muncul dari mantan presiden yang kemungkinan besar akan menjadi kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump.

“Seorang presiden dari sebuah negara besar berdiri dan mengatakan, jika kami seandainya tidak membayar, dan kami diserang oleh Rusia, apakah Anda akan melindungi kami? Lalu saya bilang, Anda tidak membayar? Anda menunggak? Dia bilang, ya, misalkan itu terjadi. Maka saya bilang, tidak, saya tidak akan melindungi Anda. Bahkan, saya akan mendorong mereka untuk melakukan apapun yang mereka inginkan,” ujar Trump hari Kamis (15/2).

Pernyataan Trump itu tentu saja mengundang reaksi dari Presiden AS, Joe Biden.

“Bisakah Anda bayangkan, seorang mantan presiden Amerika Serikat mengatakan hal seperti itu?,” katanya.

Presiden Joe Biden, yang memprioritaskan penguatan koalisi untuk melawan musuh sebagai fokus utama kebijakan luar negerinya, mengecam pendekatan “transaksional” dari pendahulunya itu.

“Tidak ada presiden lain dalam sejarah kita yang tunduk kepada seorang diktator Rusia. Dan saya katakan sejelas mungkin: saya tidak akan pernah. Demi Tuhan, pendekatan seperti itu bodoh, memalukan, berbahaya, dan bertentangan dengan nilai-nilai Amerika,” lanjut Biden.

BACA JUGA: Perbedaan Trump-Biden tentang NATO dan Peran AS di Dunia

Biden mengatakan, dia menjunjung tinggi “komitmen sakral” dari pasal 5 NATO yang mensyaratkan para anggotanya untuk saling membantu seandainya terjadi serangan dari luar. Kebijakan ini bertentangan langsung dengan Trump, yang hendak menggalakkan paham isolasionisme-nya “America First”.

Pernyataan Trump ini menimbulkan kekhawatiran di antara para sekutu. Seperti disampaikan Sekjen NATO, Jens Stoltenberg.

“Tahun ini, saya memperkirkaan 18 anggota NATO akan membelanjakan 2 persen dari PDB mereka untuk pertahanan. Itu adalah catatan rekor baru, dan peningkatan enam kali lipat dari 2014, ketika hanya tiga anggota NATO yang memenuhi target itu,” ujarnya.

Penasehat senior kampanye Trump, Jason Miller mengatakan kepada VOA dalam sebuah pernyataan, bahwa Trump telah “mengakibatkan sekutu kita menaikkan belanja NATO mereka dengan menuntut mereka untuk membayar bagian yang seharusnya menjadi beban mereka”.

Pendukung Trump yang lain, Letnan Jenderal purnawirawan Keith Kellogg, menyarankan sebuah “aliansi berjenjang”, di mana anggota NATO yang tidak memenuhi target belanja pertahanan 2 persen tidak akan mendapat perlindungan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 NATO.

Beberapa pihak lain mengatakan, sinyal dari Trump dan para pendukungnya ini telah melampaui paham isolasionisme dan berlawanan dengan “inti prinsip deterrence atau penggetaran”.

Kristine Berzina adalah direktur di Geostrategi Utara di pusat kajian German Marshall Fund.

“Trump berusaha untuk memenangkan poin melalui omong besar. Dan bravado atau omong besar Amerika di panggung internasional sangat berpengaruh pada sahabat-sahabat Amerika. Namun, ini merupakan omong besar yang bisa berdampak sebaliknya, ini seakan-akan mengatakan, ah kami tidak mau terlibat,” kata Berzina.

Your browser doesn’t support HTML5

Perselisihan Soal NATO Cerminkan Masa Depan Peran Amerika di Dunia

Kebijakan luar negeri biasanya tidak menjadi isu kunci dalam pemilu AS. Tetapi dengan kecaman Trump terhadap NATO ini, kemungkinan isu tentang peran Amerika di panggung dunia akan menjadi sumber perpecahan lainnya di kalangan pemilih.

“Isu ini sangat terpolitisasi, digunakan oleh Trump untuk menyemangati pendukungnya. Tetapi ada pemahaman bersama di kalangan warga Amerika, bahwa aliansi itu ini penting,” kata Clifford Young dari Ipsos Public Affairs.

Hanya 50 persen pemilih partai Republik yang berpendapat bahwa AS memperoleh keuntungan dari aliansi transatlantik, dibandingkan dengan 80 persen Demokrat dan 63 persen Independen, menurut jajak pendapat oleh Chicago Council on Global Affairs pada Oktober tahun lalu. [ns/jm]