Persiapan Kenaikan Harga BBM

  • Nurhadi Sucahyo

Para pengguna sepeda motor mengantri di sebuah SPBU di kota Bandung untuk membeli BBM jenis premium. (VOA/ R. Teja Wulan)

Kenaikan harga Bahan Bakar MInyak (BBM) bersubsidi tidak akan dapat dihindari oleh Presiden terpilih Joko Widodo. Agar tidak menimbulkan gejolak, ada sejumlah faktor yang harus dipenuhi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas telah menolak permintaan Presiden terpilih Joko Widodo untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Penolakan itu diyakini didorong oleh keinginan pemerintahan SBY sendiri, agar tidak meninggalkan kenangan buruk di akhir masa pemerintahannya.

Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dr Enny Sri Hartati, jika tidak mau menaikkan harga BBM bersubsidi, Presiden SBY sebenarnya bisa memberikan dukungan dalam bentuk lain. Dukungan itu antara lain dengan memaksimalkan penggunaan anggaran pada sektor-sektor yang langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat, di bulan-bulan terakhir masa pemerintahannya.

Begitu pula dengan pemerintahan Joko Widodo pada bulan-bulan pertama, harus mampu melanjutkan program-program pro rakyat itu untuk mempersiapkan kenaikan harga BBM. Enny mencontohkan, program pro rakyat yang harus memperoleh perhatian lebih adalah di sektor kesehatan dan pendidikan.

“Komunikasi politik yang seperti apa? Tentu saja yang bisa membuat masyarakat yakin bahwa kebijakan pemerintah ini untuk penyehatan perekonomian. Caranya seperti apa? Harus ada contoh yang kongkret, bahwa realokasi subsidi BBM itu betul-betul untuk pengeluaran yang produktif untuk masyarakat dan dirasakan oleh masyarakat,” ujar Enny.

Menjawab pertanyaan mengenai kapan kenaikan BBM bersubsidi bisa dilakukan di masa pemerintahan Jokowi kelak, Enny menjawab setidaknya dalam tiga bulan pertama. Namun, dia menegaskan, Jokowi harus memberi jaminan dulu bahwa langkah kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut memang pilihan yang tepat bagi rakyat Indonesia. Caranya dengan memberikan bukti, bahwa dana peralihan subsidi BBM, betul-betul dimanfaatkan untuk membantu rakyat miskin di sektor-sektor yang lebih penting.

“Kalau ini langsung bisa dibuktikan oleh Pak Jokowi-JK, kalau ini betul-betul bisa diawasi, jadi anggaran-anggaran untuk perjalanan dinas dan anggaran-anggaran yang tidak produktif lainnya ini segera direalokasi untuk anggaran kesejahteraan rakyat tadi, maka sebenarnya awal tahun atau paling lambat triwulan pertama, Maret 2015, desain dari kenaikan harga BBM itu sudah mulai secara gradual bisa dilakuan,” tambahnya.

Pengamat perminyakan, Kurtubi mengingatkan kenaikan harga BBM akan selalu membebani masyarakat, memicu kenaikan harga dan menambah jumlah rakyat miskin. Karena itu, selain menjadikan program-program pro kesejahteraan rakyat sebagai prioritas, Jokowi ke depan juga harus membersihkan bisnis sektor perminyakan. Selama ini praktek bisnis sektor minyak dan gas mengalami banyak inefisiensi, sehingga membebani APBN. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan membeli minyak langsung ke negara-negara produsen, dan bukan membelinya dari pihak ketiga, yaitu para broker di Singapura.

“Tetap saja Indonesia akan rugi kalau membeli migas lewat pihak ketiga. Karena pihak ketiga ini bukan produsen. Pihak ketiga ini hanya membeli migas yang dibutuhkan Indonesia dari produsen. Itulah makanya, ke depan harus diefisienkan sistem migas nasional kita ini, sehingga impor migas kita langsung dilakukan, langsung beli dari produsen, bila perlu pakai G to G, bila perlu pakai long term contract,” kata Kurtubi.

Kurtubi juga menambahkan, meskipun harus menaikkan harga BBM bersubsidi, namun kenaikannya tidak bisa dilakukan dalam jumlah besar. Menurut perhitungannya, harga BBM bersubsidi yang aman ada di kisaran Rp.9.000 per liter untuk premium. Tingkat harga itu dirasa adil baik bagi rakyat maupun pemerintah. Jika harus mengikuti harga dunia, harga BBM di Indonesia akan mencapai sekitar Rp.12.000 atau hampir dua kali lipat dari harga saat ini.