Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Selasa (3/3) telah memutuskan untuk menolak pemohonan tahanan politik (Tapol) kasus makar Papua agar proses persidangan dilakukan di Jayapura, Papua. Dengan putusan sela ini, persidangan akan segera digelar, dengan menghadirkan tujuh terdakwa.
Kepada VOA, salah satu anggota tim pengacara tujuh Tapol, Yohanis Mambrasar mengatakan, putusan sela ini telah menutup kemungkinan sidang diselenggarakan di Jayapura. Padahal kasus ini berawal dari unjuk rasa merespons sikap rasis sejumlah pihak yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Para aktivis yang memimpin aksi ini kemudian ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar. Menurut Yohanis, persidangan semestinya diselengarakan di Jayapura, agar masyarakat Papua yang terlibat dalam aksi demonstrasi itu, dapat mengikuti seluruh proses hukumnya. Ketujuh Tapol, kata Yohanis menyatakan kecewa.
Your browser doesn’t support HTML5
“Mereka kecewa atas putusan sela ini. Karena mereka menilai perkara mereka di Papua. Jadi harus disidangkan di Papua supaya benar-benar bisa dibuktikan oleh pengadilan dan rakyat bisa mengetahui secara langsung," ujarnya.
Keterlibatan masyarakat Papua secara langsung penting, kata Yohanis, karena perkara ini melibatkan mereka secara umum.
"Bermula dari rasisme dan ketidakadilan yang melibatkan masyarakat Papua secara umum. Kalau kemudian mereka dijauhkan, menurut mereka ini bentuk lain diskriminasi yang terjadi di Papua, dan ini di bidang hukum," lanjut Yohanis.
Tujuh Tapol Papua yang kini diadili di PN Balikpapan adalah Buchtar Tabuni sebagai Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Agus Kossay ang menjabat Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Steven Itlay sebagai Ketua KNPB Mimika, dan Alexander Gobay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Kemudian ada pula Irwanus Uropmabin, Feri Kombo, dan Hengky Hilapok.
Tujuh orang ini ditangkap dalam kesempatan berbeda pasca kekerasan yang terjadi di Papua. Kekerasan itu sendiri merupakan reaksi yang muncul, setelah rekaman ucapan bernada rasis di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya tersebar pada 16 Agustus 2019. Masyarakat Papua marah oleh ucapan rasis itu, dan aksi kekerasan terjadi di berbagai kota di Papua.
Pengadilan Negeri Balikpapan sendiri menolak keseluruhan eksepsi yang disampaikan pembela hukum. Bahkan, fakta bahwa pemindahan para terdakwa dari Jayapura ke Balikpapan dilakukan tanpa persetujuan keluarga dan pengacara, dikesampingkan. Hakim justru berpendapat, persetujuan dari keluarga tersangka dan pembela hukum bukan sebuah keharusan.
Proses persidangan yang akan segera di mulai ini juga sangat memberatkan tim pembela hukum. Setidaknya, setiap terdakwa akan mengajukan dua saksi yang meringankan. Itu berarti, akan ada sekurangnya 14 saksi yang harus dibawa dari Jayapura ke Balikpapan. Padahal biaya transportasi saksi ini harus ditanggung sendiri oleh pengacara tujuh Tapol dan sidang diperkirakan akan berlangsung hingga Mei 2020.
"Ini juga berkaitan dengan prinsip peradilan kita yang transparan, mudah dan berbiaya ringan," tambah Yohanis.
Padahal, lanjut Yohanis, kehadian saksi sangat penting dalam proses peradilan. Para saksi mengetahui fakta-fakta kejadian, kesulitan untuk dilibatkan dalam mencari kebenaran materiil.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay kepada VOA mengatakan, sejak awal kasus ini sudah penuh dengan keganjilan. Proses pemindahan tahanan oleh pihak kepolisian tidak seharusnya dilakukan karena bukan merupakan kewenangan mereka. Selain itu, muncul pertanyaan mengapa tujuh Tapol ini harus disidangkan di Balikpapan. Pada saat bersamaan, para terdakwa lain dalam kasus serupa tetap disidangkan di Jayapura.
“Perihal penerbitan ketetapan pengadilan yang memeriksa di Balikpapan oleh Mahkamah Agung itu pun juga, berdampak pada diskriminasi dalam perlakuannya. Kan kasus yang bersamaan dengan itu diperiksa di Jayapura sementara itu sendiri di Balikpapan. Itu fakta diskriminasinya," ujar Gobay.
Gobay juga menyebut, ada ketidaksesuaian dalam dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung. Menurut kronologi kasus yang disampaikan dalam dakwaan, periode waktu kasus ini bermula pada 2008 hingga 2019. Namun, kata Gobay tidak diperoleh kejelasan, apa sebenarnya peristiwa pada 2008 yang menjadi dasar dakwaan, menyangkut tempat dan waktu kejadian.
Banyak fakta itu, menurut Gobay membuktikan bahwa yang terjadi saat ini adalah kriminalisasi tehadap para aktivis HAM Papua dengan menggunakan pasal makar.
“Yang sedang terjadi terhadap para aktivis Papua itu, faktanya adalah pasal makar kemudian dikriminalisasi menggunakan sistem peradilan pidana. Dan itu dilakukan secara sistematis mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan sampai Mahkamah Agung, dalam konteks penetapan pengadilan tempat memeriksa perkara," papar Gobay.
Your browser doesn’t support HTML5
Karena begitu dominannya faktor politik dibandingkan dengan faktor hukum dalam kasus ini, Gobay telah meminta Mahkamah Agung dapat menjalankan fungsinya mengawasi proses hukum di PN Balikpapan. Di sisi lain, mereka juga meminta Komisi Yudisial memantau hakim yang menyidangkan kasus ini.
"Dengan maksud agar sistem peradilan pidana tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak profesional, untuk mengkriminalisasi pasal makar di Papua,” tambah Gobay yang juga merupakan koordinator Litigasi Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua. [ns/uh]