Pasukan penjaga perdamaian perempuan atau dikenal sebagai "Female Blue Helmets" memainkan peran yang semakin besar dalam menjaga perdamaian dunia dan mempromosikan hak asasi manusia, serta mendorong keikutsertaan perempuan dalam kedua proses itu. Pasukan penjaga perdamaian perempuan dari Indonesia menjadi salah satu yang paling diperhitungkan.
Pasukan penjaga perdamaian perempuan merupakan suatu elemen unik dalam misi penjaga perdamaian PBB. Ketika misi ini pertama kali diluncurkan PBB pada tahun 1956 untuk mengatasi krisis Terusan Suez, dilanjutkan berbagai misi lainnya di era Perang Dingin di mana persaingan antar negara melumpuhkan Dewan Keamanan PBB, belum ada personel perempuan yang dilibatkan. Misi utama pun difokuskan semata pada mempertahankan gencatan senjata dan stabilitas keamanan, sementara dilakukan upaya-upaya politik untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Baru pada tahun 1993 sejumlah personel perempuan dilibatkan dalam misi penjaga perdamaian, jumlahnya pun hanya sekitar satu persen. Jumlah ini terus bertambah setelah disadari bahwa perempuan dapat memainkan peran yang sama pentingnya dengan laki-laki, bahkan memberi hasil jauh lebih signifikan di daerah-daerah konflik tertentu.
Pada tahun 2019, sekitar 4,7 persen personel militer dan 10,8 persen personel polisi dalam pasukan penjaga perdamaian PBB adalah perempuan.
Personel Perempuan dalam Kontingen Garuda Disayangi dan Disegani Warga
Briptu Tika Nur Pratiwi, usia 27 tahun, polisi perempuan yang bertugas dalam Misi Penjaga Perdamaian PBB di Sudan Selatan UNMISS, mengatakan tertarik bergabung setelah melihat begitu banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban di daerah konflik.
“Ketika melihat berita di TV dan koran tentang daerah-daerah konflik, saya melihat banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban. Sayangnya ketika saya tanyakan pada senior-senior saya masih sedikit yang menjadi female blue helmets, padahal korbannya banyak perempuan dan anak-anak yang tentunya seharusnya di-handle oleh sesama gender karena akan lebih efektif. Jika kita sendiri yang menjadi korban, tentu kurang nyaman jika harus menyampaikan masalah pada yang laki-laki.”
Peran itu semakin terasa ketika sudah berada di lapangan. Sebagaimana disampaikan Lettu Laut Lilia Budiyanti, usia 45 tahun, anggota Misi Penjaga Perdamaian PBB di Republik Demokratik Kongo MONUSCO.
“... kami memainkan peran sendiri karena bisa lebih humble, pendekatan sosial ke masyarakat – terutama perempuan dan anak-anak – lebih kena. Mereka juga merasa lebih nyaman dengan sesama perempuan dan bisa menyampaikan apa yang sedang terjadi dan dirasakan di dalam konflik ini.”
Your browser doesn’t support HTML5
Seorang personel lainnya di MONUSCO, Lettu Caj. Nendy Koesey (29 tahun), punya cerita tentang hal ini.
“Sekitar pertengahan Desember kita ada misi pertama, Operasi Garuda Satu, kami dapat informasi dari language assistant kita bahwa ada sekelompok milisi yang ingin menyerahkan diri ke PBB. Jadi milisi bersenjata ini sudah menaruh harapan dan percaya pada PBB. Di antara yang menyerahkan diri ada perempuan. Ada istri yang merasa suaminya harus menjadi milisi karena jika tidak maka mereka tidak makan, sementara ada anak-anak yang harus dihidupi. Di situ lah saya merasakan peran saya sebagai perempuan untuk ikut meyakinkan mereka bahwa menyerahkan diri memang tepat," jelasnya.
"Patut diakui bahwa yang berperan besar itu komandan dan kasie2 saya, tetapi pendekatan pada perempuan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Kita bisa menyentuh, merangkul, bahasa saya cukup baik. Mereka akhirnya terbuka mengatakan ingin menyerahkan diri, tapi kalau menyerahkan diri nanti bagaimana makannya? Di situ lah proses negosiasi, membujuk, bagaimana saya meyakinkan ibu ini agar bicara pada suaminya yang notabene milisi," imbuhnya.
"Prosesnya cukup panjang. Sekitar satu minggu kami tidur di luar, melakukan perjalanan darat, jadi cukup lama. Baru di situ terbukti dengan peran perempuan bisa masuk dan memberikan brainwashing ke mereka, they're really get the idea... Mereka dari hutan, yang kerjanya hanya merampok, membunuh untuk bisa hidup, akhirnya mereka mau menyerahkan diri. Itu pengalaman pertama yang bisa dirasakan langsung dan tercatat. Bagaimana kami sebagai sesama perempuan bisa berkomunikasi dan saling percaya,” lanjut Lettu Caj. Nendy Koesey.
Personel Perempuan Punya Peran Unik
Perempuan terbukti berperan lebih efektif dalam misi penjaga perdamaian karena memiliki kemampuan unik untuk membangun rasa saling percaya, memberi perspektif baru dan mendorong peran serta perempuan dan anak perempuan dalam proses perdamaian, serta memiliki akses yang tidak dimiliki laki-laki. Hal ini tidak saja pada warga di daerah konflik atau mereka yang menghuni kamp-kamp pengungsi, tetapi juga sesama personel misi.
“Saya membawa bibit dari Indonesia, ada kangkung, cabe. Selepas piket saya menyirami tanaman di kebun. Tetangga saya, personel dari negara lain, juga membawa bibit tersendiri. Ketika panen kami sharing, kadang masak bersama. Saya perkenalkan ini lho masakan Indonesia, teman saya sharing masakan dari negaranya,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Nendy Koesey. “Kemana-mana kita pergi, ketika kita konvoi melaksanakan patroli malam atau pagi, atau jalan kaki, semua anak-anak di kamp berteriak-teriak “Mama Indo, Mama Indo” karena kita suka ngajak mereka main bareng, main kelereng, balap karung, yang hadiahnya bahkan bukan barang, tapi hanya seperti joget bareng diiringi lagu dari Indonesia. Mereka sebenarnya hanya ingin dirangkul, ingin dianggap ada, itu saja.”
Juga Serda Yazella Agustin, yang bertugas di Misi Penjaga Perdamaian PBB Sementara di Lebanon UNIFIL. “Bisa dapat pelajaran baru, bisa lihat keadaan masyarakat di daerah yang rawan seperti ini. Kita juga bisa dapat hal baru, contohnya mengenai budaya, tradisi, kebiasaan dan hal-hal yang tak ditemukan di Indonesia.”
Setiap personel penjaga perdamaian bertugas selama satu tahun di negara di mana mereka ditempatkan. Mereka diperkenankan mengajukan permohonan untuk memperpanjang atau memperpendek masa penempatan, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke kantor pusat di New York. Mereka juga mendapatkan semacam insentif di akhir masa tugas, jumlahnya bervariasi tergantung negara penempatan.
Personel Indonesia Terbanyak di Pasukan Penjaga Perdamaian PBB
Duta Besar dan Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB, Dr. Dian Triansyah Djani kepada VOA mengatakan sangat bangga dengan kinerja pasukan penjaga perdamaian Indonesia.
“Saya sangat bangga dengan performa pasukan penjaga perdamaian Indonesia di berbagai wilayah konflik. Indonesia adalah negara utama atau nomor satu yang memberikan kontribusi pada pasukan penjaga perdamaian di Dewan Keamanan PBB. Ada 2.800 personel di delapan misi perdamaian. Selama sejarah Indonesia, kita sudah kirim sejak tahun 1957. Kira-kira ada 45.000 personel pasukan yang sudah diterjunkan di wilayah-wilayah konflik sejak 63 tahun lalu,” komentarnya.
Dari 82.245 personel pasukan penjaga perdamaian di berbagai daerah konflik di dunia, 5.310 diantaranya adalah perempuan, atau berarti sekitar 6,4 persen. Negara-negara anggota PBB yang ikut mengirim personel kini menyerukan untuk menambah jumlah personel perempuan hingga minimal 20 persen, terutama untuk posisi polisi.
Kini muncul pula komitmen kuat untuk menunjuk perempuan di kepemimpinan sipil dalam pasukan penjaga perdamaian, dan hingga akhir Februari lalu 35 persen kepala operasi dan misi adalah perempuan.
Misi penjaga perdamaian yang berperspektif gender terbukti melahirkan kebijakan dan praktik misi penjaga perdamaian yang efektif dan sekaligus meningkatkan jumlah perempuan dalam misi-misi tersebut; hal yang mendorong perdamaian dunia dan hak-hak asasi manusia, yang menjadi misi utama pasukan PBB tersebut. [em/hj]