Pertempuran sengit berkecamuk di ibu kota Sudan meskipun jeda diberlakukan selama beberapa jam pada Minggu (16/4) untuk menangani kebutuhan kemanusiaan termasuk evakuasi korban luka. Pertempuran yang memasuki hari kedua itu menyebabkan tiga staf PBB tewas di antara lebih dari 50 warga sipil yang meninggal dunia di negara itu.
Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan pihaknya menangguhkan operasi di negara miskin itu setelah tiga pekerjanya tewas terbunuh.
Pertempuran antara angkatan bersenjata yang kuat dan kelompok para militer RSF memicu protes internasional dan keprihatinan regional, termasuk penutupan perbatasan oleh negara-negara tetangga, yakni Mesir dan Chad.
BACA JUGA: Sudan Bergolak, KBRI Pastikan WNI AmanLedakan yang memekakkan telinga dan tembakan senjata terus menerus mengguncang gedung-gedung di pinggiran utara dan selatan ibu kota Khartoum yang berpenduduk padat sementara tank-tank bergemuruh di jalan-jalan dan jet-jet tempur meraung-raung di atas kepala, kata para saksi mata.
Pertempuran berlanjut setelah malam tiba pada hari Minggu, ketika orang-orang Sudan berdiam diri di rumah karena ketakutan akan konflik berkepanjangan yang dapat menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan yang lebih dalam, dan memupuskan harapan lama untuk transisi menuju era demokrasi yang dipimpin oleh pihak sipil.
Kekerasan meletus pada Sabtu (15/4) pagi setelah berminggu-minggu terjadi perebutan kekuasaan antara panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan wakilnya, Mohamed Hamdan Daglo yang mengepalai RSF yang bersenjata lengkap.
Komite Sentral Dokter Sudan pro-demokrasi melaporkan 56 warga sipil tewas serta “puluhan tewas” di antara pasukan keamanan, dan sekitar 600 orang terluka. [lt/jm]