Bentrokan sporadis antara militer Sudan dan pasukan paramiliter yang kuat terjadi hari Kamis (25/5), merusak ketenangan relatif di ibu kota, Khartoum, dan meningkatkan risiko gagalnya gencatan senjata sepekan yang diperantarai internasional.
Gencatan senjata itu, yang dipantau Arab Saudi dan AS serta pihak-pihak yang berperang, tercapai setelah perang lima pekan di Khartoum dan berkobarnya kekerasan di beberapa daerah lain Sudan, termasuk Darfur di bagian barat.
Pertempuran antara militer Sudan dan pasukan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah memperburuk krisis kemanusiaan, memaksa lebih dari 1,3 juta orang meninggalkan rumah mereka dan mengancam ketidakstabilan wilayah yang lebih luas.
Militer, dipimpin oleh perwira karier Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengandalkan kekuatan udara, sedangkan RSF, yang dikomandani oleh mantan pemimpin milisi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal luas sebagai Hemedti, telah menyebar dan mencari perlindungan di jalan-jalan di kota Khartoum.
Tidak jelas apakah salah satu pihak telah meraih kemajuan dalam konflik yang mengancam akan menciptakan krisis kemanusiaan skala besar dan menggoyahkan negara-negara di kawasan.
Bentrokan antara faksi-faksi militer yang bersaing itu pecah pada hari Rabu di Khartoum dan kota-kota lainnya, kata warga.
Kota Zalingei, ibu kota negara bagian Darfur Tengah, telah dikepung oleh milisi bersenjata selama beberapa hari terakhir. Koordinator badan pengungsi PBB di Darfur Toby Harward meminta pihak berwenang untuk merebut kembali kontrol atas kota itu.
Telekomunikasi telah diputus, dan geng-geng yang berkeliaran dengan sepeda motor di kota itu telah menyerang rumah sakit, kantor pemerintah dan badan bantuan, bank serta rumah-rumah. Situasi serupa dilaporkan juga terjadi di Darfur Barat.
El Geneina, ibu kota negara bagian, juga mengalami pemutusan telekomunikasi selama beberapa hari setelah ratusan orang tewas dalam serangan milisi. [uh/ab]