Pertemuan Putin-Duterte Isyaratkan Peran Lebih Besar Rusia di Laut China Selatan

Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan), berjabat tangan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte selama pertemuan mereka di resor Laut Hitam di Sochi, Rusia, Kamis, 3 Oktober 2019 (Mikhail Klimentyev, Sputnik, Pool Pool Kremlin Foto melalui AP)

Pertemuan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, pekan ini dengan Presiden Vladimir Putin di Rusia mengisyaratkan minat Moskow untuk memainkan peran yang rumit namun persuasif dalam sengketa kedaulatan atas Laut China Selatan yang kini didominasi oleh China dan Amerika Serikat, kata para pakar di kawasan tersebut.

Duterte mengunjungi Rusia pada 1 hingga 5 Oktober ini, antara lain untuk berbicara dengan Putin mengenai peningkatan kerjasama keamanan dan pertahanan. Dalam keterangan lain yang dimuat situs Internet kantor presiden Filipina disebutkan bahwa Duterte mengunjungi bandara di pangkalan militer Vnukovo di Moskow, Rabu.

Rusia mungkin menawarkan untuk menjual senjata ke Filipina, setelah berhasil menjual senjata ke negara-negara Asia Tenggara lainnya yang mengklaim wilayah laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu, kata para pakar. Penjualan senjata Rusia ke Filipina akan mengurangi pengaruh militer AS di laut tersebut, tetapi belum ditangani dalam cara-cara yang menghindari pelemahan Beijing, teman Moskow selama puluhan tahun ini, jelas pakar.

Aaron Rabena, peneliti di Asia-Pacific Pathways to Progress Foundation yang berbasis di Manila mengatakan, Rusia menganggap pengaruh AS di Filipina sangat luas. Menjual senjata ke Filipina efektif memajukan pengaruh politik Rusia, jelasnya. China mungkin akan mengkhawatirkan jenis senjata yang didapat dari Rusia serta di mana senjata itu akan digunakan. Kalau digunakan di Laut China Selatan, maka China akan mempertanyakannya, lanjut Rabena.

Brunei, China, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Filipina mengklaim seluruh atau sebagian wilayah Laut China Selatan. China, yang mengklaim 90 persen wilayah itu, telah mengambil posisi memimpin dalam bidang militer dan teknologi selama dekade terakhir ini, mendorong pihak yang lebih lemah meminta bantuan asing, sering kali dari Amerika Serikat. [uh/lt]