Di Filipina minggu ini sekolah ditutup dan para siswa dan guru diperintahkan untuk tinggal di rumah di tengah-tengah suhu naik mendekati 40 derajat Celsius.
Sementara banyak bagian dunia didera cuaca ekstrem, sebuah penelitian baru memperingatkan bahwa dampak global dari perubahan iklim akan menelan biaya $38 triliun pada 2050.
Itu berarti pengurangan pada pendapatan rata-rata dunia sebesar 19 persen. Penyusun laporan itu Maxmilian Kotz mengatakan, “Temuan kami adalah dalam 25 sampai 30 tahun ke depan, dampak pada ekonomi konsisten lintas berbagai skenario emisi, terlepas apakah emisi yang kita masuki tinggi atau rendah.”
Perubahan iklim khususnya suhu tinggi terbukti berdampak pada produktivitas pekerja, kata Kotz.
“Dan itu kemudian akan dimanifestasikan lintas industri-industri yang berbeda, meskipun khususnya dampaknya kuat kalau pekerja bekerja di udara terbuka, jadi dalam konteks seperti sektor produksi. Kemudian kita juga tahu dampak pada produktivitas pertanian sangat kuat, juga akibat suhu tinggi,” jelasnya.
Penelitian ini meninjau data iklim dan ekonomi dari empat puluh tahun terakhir meliputi lebih dari 1.600 kawasan di dunia dan digunakan untuk menilai dampak masa depan. Ironisnya, kawasan yang paling sedikit mengakibatkan emisi global kemungkinan akan terpukul paling buruk.
“Kawasan di Global Selatan adalah yang paling rentan dan paling kuat terdampak oleh perubahan iklim pada masa depan. Dan alasan bagi hal itu adalah kawasan-kawasan ini sudah panas,” imbuh Kotz.
Laporan ini menyimpulkan bahwa mengatasi perubahan iklim akan jauh lebih murah dibandingkan dengan menanggapi kerusakan ekonominya. Katanya biaya mengurangi emisi gas rumah kaca hanya seperenam dari dampak perubahan iklim pada 2050 sebesar $38 triliun. [jm/ka]
Pendapatan rata-rata penduduk di seluruh dunia akan turun seperlimanya karena perubahan iklim pada pertengahan abad ini, menurut laporan baru dari Postdam Institute for Climate Impact Research.