Perubahan Iklim dan Penurunan Tanah Sebabkan Pantura Tenggelam

  • Nurhadi Sucahyo

Rob di Semarang disebabkan penurunan muka tanah sekaligus faktor perubahan iklim. (Foto: Dok BPBD Kota Semarang)

Banjir rob yang melanda pesisir Jawa Tengah, mulai Pekalongan, Semarang hingga Demak disebabkan oleh banyak faktor. Peneliti merekomendasikan pembangunan kawasan itu didasarkan data geologi yang tepat.

Badan Geologi mencatat penurunan muka tanah jelas terjadi di kawasan pesisir Jawa Tengah. Kondisi itu disebabkan sejumlah faktor, mulai pemanfaatan air tanah berlebih dan karakteristik tanah itu sendiri.

Terkait banjir rob besar yang terjadi pekan lalu, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Dr SS Rita Susilawati menyebut, penyebabnya adalah kombinasi penurunan muka tanah dan perubahan iklim.

“Memang di beberapa wilayah, kalau misalnya tidak terjadi penurunan tanah, terjadi banjir itu bisa suffer juga. Tetap terjadi banjir, tetapi barangkali efeknya tidak sebesar apabila dikombinasikan dengan penurunan muka tanah, seperti yang terjadi di Semarang dan Pekalongan,” kata Rita, dalam sesi pertemuan bersama media, Selasa (31/5).

Foto dari udara yang dibagikan laman media sosial Kemen PUPR menunjukkan salah satu tanggul yang jebol di kawasan industri Semarang. (Foto: Kemen PUPR)

Dua penyebab penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa Tengah, kata Rita, adalah karakteristik tanah dan pengambilan air tanah. Khusus untuk penyebab kedua, dibutuhkan studi lebih komprehensif untuk memetakan dampaknya. Data yang ada, penurunan muka tanah di pesisir Semarang bervariasi, antara 12-an centimeter (cm) per tahun, dengan angka rata-rata 5,6 centimeter per tahun.

Untuk membantu pemerintah mencegah bencana seurpa ke depan, lembaga yang dipimpin Rita terus melakukan penelitian terkait sebaran tanah lunak di kawasan tersebut. Mereka juga membuat peta seismik, untuk mengidentifikasi kedalaman tanah lunak dan sifat geologis teknisnya.

Selain itu, pihaknya juga merekomendasikan monitoring laju penurunan muka tanah.

BACA JUGA: Rob Jawa Tengah: Air Tanah dan Pengelolaan Pesisir yang Keliru 

“Kalau kita sudah mengetahui laju penurunan muka tanah, bisa kita sinergikan dengan tata ruang misalnya,” kata Rita.

Keputusan teknis mengatasi banjir rob harus merupakan hasil diskusi lintas keilmuan yang komprehensif. Secara teknis, pembangunan tanggul adalah adaptasi yang bisa dilakukan. Hanya saya, pembangunan tanggul harus memperhatikan laju penurunan muka tanah yang ada, sebab jika tidak dalam waktu tidak lama kemungkinan tanggul tersebut akan ikut tenggelam.

“Penurunan muka tanah juga bisa terjadi karena pemanfaatan air tanah berlebih. Tentu sabagai mitigasi, kita juga harus melakukan pengendalian pemakaian air tanah sesuai zona konservasi air tanah,” lanjut Rita terkait rekomendasi mereka.

Penutupan sementara tanggul yang jebol ditargetkan selesai Kamis (26/5), Kemen PUPR juga akan mengevaluasi tinggi tanggul ke depan. (Foto: Kemen PUPR)

Badan Geologi juga mengingatkan, bahwa pengaturan tata ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur di atasnya, harus memperhatikan kondisi geologis bawah permukaan.

Sekretaris Badan Geologi, Dr Ediar Usman, menekankan pada wilayah yang mengalami abrasi harus diperhatikan lebih seksama.

Sekretaris Badan Geologi, Ediar Usman. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Kalau ada pembangunan di situ, akan berhadapan langsung dengan pantai yang kemungkinan akan terjadi pengikisan, akan habis, oleh gelombang. Jadi, pembangunan disitu harus melalui desain yang lebih lengkap. Bisa melindungi kawasan setempat dan juga mengimbangi penurunan kawasan pantai itu,” tandas Ediar.

Solusi Alami Bukan Teknis

Dalam diskusi “Tanggul Jebol dan Rob: Pengalaman Jakarta dan Semarang”, Elisa Tanudjaja menekankan pentingnya solusi bagi rob, dengan mengandalkan alam, bukan sekedar teknologi. Elisa adalah Direktur Eksekutif di Rujak Center for Urban Studies, lembaga kajian perkotaan berbasis di Jakarta.

Untuk mengatasi rob, penurunan muka tanah saat ini perlu dihentikan atau setidaknya diperlambat. Namun, di luar itu ada langkah lain yang sangat penting dilakukan, yaitu melakukan monitoring.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo berkomunikasi dengan warga terdampak banjir rob ketika berkeliling meninjau kawasan pesisir Semarang, Senin (23/5). (Foto: Humas Jateng)

“Untuk tahu penurunan per tahun berapa centimeter, misalnya seperti Muara Baru yang di utara, ternyata sampai 3-4 cm per tahun, padahal kalau di berita bisa 15 cm per tahun. Itu penting untuk tahu dan punya data. Kenapa penting? Kalau misalnya terjadi penurunan drastis, itu kita tahu daerahnya ada masalah,” kata Elisa dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Selasa (31/5).

Jakarta telah melakukan program monitoring semacam itu. Elisa menyebut, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan cukup menguntungkan, karena ada banyak program terkait dilakukan. Program yang dilakukan antara lain adalah pembuatan sumur monitoring pada 2018, yang merupakan kerja sama Pemprov DKI Jakarta, Kementerian ESDM dan JICA.

Tanggul jebol ada di tiga titik, dua selebar 20 meter dan satu selebar 8 meter. (Foto: Humas Jateng)

“Mungkin ada sekitar 80 sampai 90-an sumur monitoring itu di seluruh Jakarta plus wilayah sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Tangerang Selatan dan sebagainya,” tambah Elisa.

Upaya monitoring ini membuahkan hasil. Salah satunya di kawasan Muara Baru, di mana terlacak penurunan muka air tanah yang disebabkan oleh kegiatan operasional sebuah pabrik es batu. Pabrik tersebut mengambil air tanah dari kedalaman lebih dari 200 meter. Elisa mencontohkan Tokyo sebagai kota yang mampu memperlambat penurunan muka tanah melalui upaya monitoring serupa.

Langkah politik juga penting. Elisa mengisahkan, Gubernur Jakarta Anies Baswedan pada 2018-2019 melakukan pengecekan langsung ke gedung-gedung yang ada di sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin.

Warga mendorong sepeda motornya melewati air di daerah terdampak banjir menyusul hujan deras di Jakarta, 20 Februari 2021. (Foto: Antara/Aprillio Akbar via REUTERS)

“Dari 99 gedung, kalau enggak salah cuma dua gedung yang memiliki sumur resapan sesuai dengan spesifikasi lahannya,” tambah Elisa.

Jika penurunan muka tanah tidak dihentikan, upaya apapun termasuk pembangunan tanggul laut setinggi apapun, kata Elisa tidak akan banyak bermanfaat.

Tanggul Tiga Triliun

Dalam peninjauan kawasan terdampak rob di Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (30/5), Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo justru menyebut tentang rencana pembangunan tanggul menyeluruh di pesisir utara provinsi tersebut.

“Usulan saya, dulu waktu menghitung, kira-kira anggarannya Rp3 triliun untu diselesaikan. Tentu tidak bisa serta merta, tetapi kita harus kerjakan bareng-bareng,” ujar Ganjar.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengunjungi kawasan terdampak rob di Kota Pekalongan, Senin (30/5). (Foto: Humas Jateng)

Seperti juga Semarang, wilayah Pekalongan telah dilindungi dengan tanggul penahan air laut. Namun pekan lalu, tanggul tersebut juga jebol sehingga air laut menggenangi daratan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan membantu proses pemompaan untuk mengurangi dampak banjir rob tersebut. Ganjar juga memastikan, pengungsi bisa ditangani dengan baik dengan kebutuhan logistik yang tercukupi.

“Kita tidak boleh berhenti, hitung-hitungannya kemarin waktu saya lihat data di BMKG, itu nanti ada di bulan Juni dan Juli,” ujar Ganjar tentang potensi bencana serupa ke depan.

Your browser doesn’t support HTML5

Perubahan Iklim dan Penurunan Tanah Sebabkan Pantura Tenggelam

Ganjar telah melaporkan bencana terakhir ke pemerintah pusat dan mendapat respons yang baik.

“Memang untuk Semarang sampai perbatasan Demak dan Pekalongan itu butuh prioritas. Kalau daerah sini (Pekalongan-red) tanggul jebol, yang di sebelah utara tanggulnya belum jadi,” ujarnya. [ns/lt]