Negara-negara temui jalan buntu saat merundingkan perumusan mekanisme pendanaan untuk membantu negara-negara pulih dan bangkit dari kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Kebuntuan itu terjadi sekitar sebulan menjelang KTT Iklim PBB di Dubai.
Dua lusinan negara yang tergabung dalam sebuah komite yang ditugaskan untuk merancang dana “ganti rugi dan kerusakan” mengakhiri pertemuan mereka Sabtu (21/10) lalu di Aswan, Mesir, dengan perselisihan di antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju mengenai sejumlah pertanyaan kunci: entitas mana yang sebaiknya mengawasi dana tersebut, siapa yang dibebani tanggung jawab untuk membayar, dan negara mana saja yang memenuhi syarat untuk menerima pendanaan.
Komite itu diharapkan dapat mengajukan serangkaian rekomendasi untuk menerapkan rencana pendanaan yang telah disepakati tahun lalu, dalam sebuah terobosan pada COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Pendanaan itu akan menjadi dana PBB pertama yang khusus didedikasikan untuk mengatasi kerusakan permanen yang diakibatkan oleh peristiwa iklim, seperti kekeringan, banjir dan kenaikan permukaan air laut.
BACA JUGA: Forum Air Dunia Diharapkan Percepat Pemenuhan Akses Air Bersih dan Sanitasi 2030Alih-alih menghasilkan rekomendasi, komite itu sepakat akan bertemu sekali lagi di Abu Dhabi pada 3 November, sebelum COP28 dimulai di Dubai pada 30 November, untuk menjembatani perpecahan yang dapat memengaruhi suasana negosiasi iklim pada KTT mendatang.
“Seluruh negosiasi COP28 bisa gagal kalau prioritas negara-negara berkembang dalam pendanaan ganti rugi dan kerusakan tidak ditangani dengan baik,” kata Preety Bhandari, penasihat keuangan senior World Resources Institute.
Salah satu masalah yang paling diperdebatkan dalam pertemuan pekan lalu adalah apakah sebaiknya Bank Dunia yang mengelola dana tersebut, seperti diusulkan AS dan negara-negara maju lain, atau justru PBB membentuk lembaga baru untuk mengelolanya, seperti keinginan negara-negara berkembang.
Apabila dana itu dikelola Bank Dunia, yang presidennya ditunjuk oleh AS, maka negara pendonor akan memiliki pengaruh yang sangat besar atas dana tersebut dan bisa berujung pada tingginya biaya yang akan ditanggung oleh negara-negara penerima dana, kata negara-negara berkembang.
Menanggapi kritikan itu, juru bicara Bank Dunia mengatakan kepada Reuters: “Kami mendukung prosesnya dan berkomitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara begitu mereka menyepakati cara untuk membangun dana ganti rugi dan kerusakan.”
AS, Uni Eropa dan lainnya menginginkan dana yang lebih terarah. Uni Eropa ingin agar dana itu didedikasikan kepada yang paling “rentan”, sementara AS ingin dana itu fokus pada bidang-bidang yang terkena dampak iklim yang lambat, seperti kenaikan tinggi permukaan air laut.
Negara-negara dalam komite itu juga terbelah soal siapa yang harus membayar ganti rugi tersebut.
Brandon Wu, direktur kebijakan dan kampanye di NGO ActionAid USA meminta AS berhenti memaksa agar dana itu dikelola Bank Dunia.
Perunding AS Christina Chan, yang merupakan penasihat senior Utusan Khusus bidang Iklim John Kerry, menolak kritik yang menyebut AS menghambat kemajuan dana ganti rugi dan kerusakan.
“Kami telah bekerja dengan tekun di setiap kesempatan untuk mengatasi kekhawatiran, memecahkan masalah dan menemukan kesepahaman,” ungkapnya. [rd/jm]