Perusahaan telekomunikasi di beberapa negara, termasuk Indonesia, mengembangkan koneksi tenaga surya untuk menyediakan layanan ponsel di tempat terpencil.
JAKARTA —
Sampai tahun ini, sekitar 1.000 warga desa Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, memakai telepon genggam mereka sebagai kalkulator, kamera dan pemutar musik. Mereka harus melakukan perjalanan sampai lima jam dengan bus atau sepeda motor melewati jalan berlumpur agar dapat memakai alat itu semestinya: menelepon atau mengirim pesan.
Tapi mereka tidak sendiri. Menurut studi yang dikeluarkan pada Oktober oleh GSMA, sebuah asosiasi operator seluler, 1,5 miliar orang di dunia kurang mendapat akses terhadap sinyal telepon seluler atau ponsel.
Hal ini terjadi karena operator seluler tidak merasa menghubungkan masyarakat di tempat terpencil seperti Mambi sebagai investasi yang menguntungkan. Namun karena permintaan akan layanan ponsel di pedesaan negara berkembang meningkat, dan biaya teknologi untuk menghubungkannya turun, situasinya menjadi berbeda.
Hal itu berarti warga pedesaan seperti yang ada di Mambi akan membentuk sekitar 700 juta langganan ponsel baru dalam lima tahun ke depan, menurut GSMA.
“Kendalanya bukan alat, namun ketersediaan jaringan,” ujar Prashant Gokarn, direktur strategi dan perencanaan di Indosat Tbk PT (ISAT.JK), operator kedua terbesar di Indonesia.
Yang mendorong perubahan ini adalah perusahaan-perusahaan kecil seperti Altobridge dari Irlandia, yang menawarkan stasiun pemancar dengan harga yang jauh lebih kecil yang biasanya dirancang untuk lingkungan kota. Stasiun ini digerakkan oleh panel surya, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk mengirimkan mesin diesel dan mengurangi beban lalu lintas kembali ke jaringan.
Jika pemasangan stasiun basis dengan menara, listrik dan pendingin udara di daerah terpencil dapat mencapai sekitar US$250.000, ujar direktur pemasaran Altobridge Peter Tuomey, stasiun bertenaga surya miliknya hanya memerlukan biaya seperlima dari itu. Biaya bulanan akan dikurangi dengan mengirimkan panggilan lokal kembali ke stasiun basis, daripada mengirimkannya lewat satelit.
Kesediaan pemain kecil seperti Altobridge untuk membagi beberapa risiko telah membuat mereka memiliki pasar tersendiri dibandingkan pemain utama seperti Nokia, Siemens Networks, Ericsson dan Huawei.
Selain Altobridge, Vihaan Networks Ltd (VNL) dari India telah memasang ratusan ribu stasiun semacam itu di negara-negara berkembang.
Di Indonesia, Indosat dan Altobridge bekerja sama memasang stasiun pemancar di hampir 100 tempat, termasuk Mambi. Itu hanya permulaan. Altobridge memperkirakan 35 juta orang Indonesia, atau 14 persen populasi, tidak memiliki akses terhadap jaringan ponsel.
Namun hal itu akan berubah. Di Mambi misalnya, Altobridge telah mengirim salah seorang teknisinya, untuk membangun dua stasiun untuk sekelompok desa.
Teknisi asal Australia bernama Sean Heffernan tersebut terkejut melihat kemakmuran di daerah tersebut. Mambi memiliki jalan aspal, sekolah dan restoran-restoran, sebagian karena pendapatan dari perkebunan cokelat dan kopi serta penanaman padi, dan uang kiriman dari kerabat yang bekerja di luar negeri.
Segera setelah jaringan bekerja, perubahannya sangat terlihat. Warga dapat menelepon dokter di ibukota, memeriksa harga pasar produk yang mereka jual seperti cabai dan lemon daripada mengira-ngira harganya, dan memesan barang dari kota daripada harus bepergian berjam-jam untuk pulang pergi.
Di Papua, pembangunan stasiun pemancar telah diikuti dengan pembukaan bank, kantor layanan pemerintah dan bisnis ritel karena layanan-layanan tersebut bergantung pada komunikasi.
Riset memang menunjukkan bahwa adanya sinyal ponsel memiliki dampak ekonomi. Sebuah studi dari Deloitte untuk grup telekomunikasi Telenor pada 2008 menunjukkan bahwa kenaikan 10 persen dari penetrasi selular akan mendongkrak PDB jangka panjang sebuah negara berkembang sebesar 1,2 persen.
Kuncinya adalah keuntungan bagi operator. Bagi Indosat, caranya adalah dengan pemotongan tarif. Meski pendapatan rata-rata tiap pengguna tidak naik, jika lalu lintas meningkat, pendapatan per stasiun akan naik.
Banyak pihak yang ingin telekomunikasi menyebar ke tempat terpencil lebih cepat dengan memakai perangkat lunak bersumber terbuka. Aktivis teknologi Indonesia, Onno Purbo, telah mendorong pemerintah untuk mengijinkan stasiun basis bersumber terbuka (open-source) untuk menghubungkan dengan penyedia layanan telekomunikasi yang telah ada.
Hal tersebut, ujar Onno, tidak hanya lebih murah, tapi membuat masyarakat tidak perlu menunggu operator.
Namun Onno belum beruntung. Yang lebih menjanjikan adalah penggunaan teknologi komersil yang memungkinkan koneksi 3G yang lebih cepat di daerah pedesaan atau terpencil. Jika stasiun pemancar hanya membantu menyediakan layanan suara, teks pendek dan koneksi 2G yang mendasar, langkah berikutnya adalah menambahkan data 3G yang memerlukan daya lebih tinggi.
Tuomey dari Altobridge mengatakan ia sedang bekerja sama dengan perusahaan Malaysia, Maxis, untuk membangun teknologi broadband komersial.
Dengan 2G atau 3G, VNL mengatakan permintaan sangat banyak. Lalu lintas yang ada sangat padat karena semua warga ingin berbicara di telepon. (Reuters/Jeremy Wagstaff)
Tapi mereka tidak sendiri. Menurut studi yang dikeluarkan pada Oktober oleh GSMA, sebuah asosiasi operator seluler, 1,5 miliar orang di dunia kurang mendapat akses terhadap sinyal telepon seluler atau ponsel.
Hal ini terjadi karena operator seluler tidak merasa menghubungkan masyarakat di tempat terpencil seperti Mambi sebagai investasi yang menguntungkan. Namun karena permintaan akan layanan ponsel di pedesaan negara berkembang meningkat, dan biaya teknologi untuk menghubungkannya turun, situasinya menjadi berbeda.
Hal itu berarti warga pedesaan seperti yang ada di Mambi akan membentuk sekitar 700 juta langganan ponsel baru dalam lima tahun ke depan, menurut GSMA.
“Kendalanya bukan alat, namun ketersediaan jaringan,” ujar Prashant Gokarn, direktur strategi dan perencanaan di Indosat Tbk PT (ISAT.JK), operator kedua terbesar di Indonesia.
Yang mendorong perubahan ini adalah perusahaan-perusahaan kecil seperti Altobridge dari Irlandia, yang menawarkan stasiun pemancar dengan harga yang jauh lebih kecil yang biasanya dirancang untuk lingkungan kota. Stasiun ini digerakkan oleh panel surya, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk mengirimkan mesin diesel dan mengurangi beban lalu lintas kembali ke jaringan.
Jika pemasangan stasiun basis dengan menara, listrik dan pendingin udara di daerah terpencil dapat mencapai sekitar US$250.000, ujar direktur pemasaran Altobridge Peter Tuomey, stasiun bertenaga surya miliknya hanya memerlukan biaya seperlima dari itu. Biaya bulanan akan dikurangi dengan mengirimkan panggilan lokal kembali ke stasiun basis, daripada mengirimkannya lewat satelit.
Selain Altobridge, Vihaan Networks Ltd (VNL) dari India telah memasang ratusan ribu stasiun semacam itu di negara-negara berkembang.
Di Indonesia, Indosat dan Altobridge bekerja sama memasang stasiun pemancar di hampir 100 tempat, termasuk Mambi. Itu hanya permulaan. Altobridge memperkirakan 35 juta orang Indonesia, atau 14 persen populasi, tidak memiliki akses terhadap jaringan ponsel.
Namun hal itu akan berubah. Di Mambi misalnya, Altobridge telah mengirim salah seorang teknisinya, untuk membangun dua stasiun untuk sekelompok desa.
Teknisi asal Australia bernama Sean Heffernan tersebut terkejut melihat kemakmuran di daerah tersebut. Mambi memiliki jalan aspal, sekolah dan restoran-restoran, sebagian karena pendapatan dari perkebunan cokelat dan kopi serta penanaman padi, dan uang kiriman dari kerabat yang bekerja di luar negeri.
Segera setelah jaringan bekerja, perubahannya sangat terlihat. Warga dapat menelepon dokter di ibukota, memeriksa harga pasar produk yang mereka jual seperti cabai dan lemon daripada mengira-ngira harganya, dan memesan barang dari kota daripada harus bepergian berjam-jam untuk pulang pergi.
Di Papua, pembangunan stasiun pemancar telah diikuti dengan pembukaan bank, kantor layanan pemerintah dan bisnis ritel karena layanan-layanan tersebut bergantung pada komunikasi.
Riset memang menunjukkan bahwa adanya sinyal ponsel memiliki dampak ekonomi. Sebuah studi dari Deloitte untuk grup telekomunikasi Telenor pada 2008 menunjukkan bahwa kenaikan 10 persen dari penetrasi selular akan mendongkrak PDB jangka panjang sebuah negara berkembang sebesar 1,2 persen.
Kuncinya adalah keuntungan bagi operator. Bagi Indosat, caranya adalah dengan pemotongan tarif. Meski pendapatan rata-rata tiap pengguna tidak naik, jika lalu lintas meningkat, pendapatan per stasiun akan naik.
Banyak pihak yang ingin telekomunikasi menyebar ke tempat terpencil lebih cepat dengan memakai perangkat lunak bersumber terbuka. Aktivis teknologi Indonesia, Onno Purbo, telah mendorong pemerintah untuk mengijinkan stasiun basis bersumber terbuka (open-source) untuk menghubungkan dengan penyedia layanan telekomunikasi yang telah ada.
Hal tersebut, ujar Onno, tidak hanya lebih murah, tapi membuat masyarakat tidak perlu menunggu operator.
Namun Onno belum beruntung. Yang lebih menjanjikan adalah penggunaan teknologi komersil yang memungkinkan koneksi 3G yang lebih cepat di daerah pedesaan atau terpencil. Jika stasiun pemancar hanya membantu menyediakan layanan suara, teks pendek dan koneksi 2G yang mendasar, langkah berikutnya adalah menambahkan data 3G yang memerlukan daya lebih tinggi.
Tuomey dari Altobridge mengatakan ia sedang bekerja sama dengan perusahaan Malaysia, Maxis, untuk membangun teknologi broadband komersial.
Dengan 2G atau 3G, VNL mengatakan permintaan sangat banyak. Lalu lintas yang ada sangat padat karena semua warga ingin berbicara di telepon. (Reuters/Jeremy Wagstaff)