Sore itu, bangunan limasan pesantren waria Al Fatah di kawasan padat penduduk di Kotagede Yogyakarta terasa penuh sesak karena sedang berlangsung pelatihan memijat profesional bagi 20 waria pengamen dan pelatihan make up artist atau tata rias bagi 20 pekerja seks (PS).
Shinta Ratri, pimpinan pesantren waria Al-Fatah menyebutkan, pada bulan Ramadhan 1440 Hijriah ini pihak pengelola pesantren berusaha meraih pahala bukan hanya melalui kegiatan spiritual berupa ibadah puasa dan ibadah terkait lainnya tetapi juga serangkaian kegiatan sosial untuk membantu sesama waria meningkatkan kualitas hidup mereka.
Di antara kegiatan itu adalah membentuk family support group untuk membantu waria yang masih belum sepenuhnya diterima oleh keluarganya, dan pelatihan pemulasaraan jenazah yang pertama di Indonesia. Kegiatan ini dilakukan karena pernah ada dua kasus waria meninggal dunia tetapi warga sekitar menolak untuk mengurus jenazahnya.
“Jadi kali ini kita menjawab kasus-kasus yang di lingkungan sosial seperti konflik waria dengan keluarganya, maka kita membentuk family support groups – kita bentuk sebagai kelompok dukungan untuk teman-teman waria yang belum diterima di keluarganya. Kita juga mempunyai kelompok pemulasaraan jenazah karena sebelumnya kita mendapati dua kasus waria meninggal tetapi tidak ada yang mau memandikan jenazahnya,” papar Shinta.
Di bulan Ramadhan ini pada sore hari selepas shalat ashar hingga saat buka puasa selama 2 pekan, di pesantren Al Fatah juga diselenggarakan pelatihan memijat profesional bagi waria pengamen dan pelatihan tata rias bagi para pekerja seks (PS). Selain materi ketrampilan memijat dan tata rias, peserta juga belajar tentang manajemen dan pemasaran.
Menurut Shinta Ratri, setelah pelatihan berakhir, peserta akan dibimbing untuk membentuk kelompok yang selanjutnya dikembangkan menjadi koperasi.
“Manajemen dan pemasaran untuk menjadi pemijat profesional karena nanti pemijat sejumlah 20 ini akan kita bentuk suatu kelompok kerja, make up artist juga akan kita bentuk kelompok kerja, kemudian mereka punya seperti koperasi atau pra-koperasi,” imbuhnya.
Wahyu Triatmojo dari Kantor Dinas Koperasi dan UKM propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan kepada VOA, pada pelatihan manajemen tersebut ia mengajarkan manajemen usaha dan pemetaan bisnis model Kanvas.
“Pemetaan bisnis menggunakan satu lembar kertas berisi 9 kolom, semua peserta kita minta untuk menjelaskan produk yang mereka buat itu ditujukan kepada siapa, dan seterusnya sampai dengan di kolom 9 tentang pembiayaan. Harapannya semua peserta pelatihan bisa melihat dengan jelas peta bisnis akan dikembangkan kemana,” ujar Wahyu.
Ayu Dewi, Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) selaku pelatih ketrampilan tata rias mengatakan, materi ketrampilan yang ia berikan mencakup tata rias, sanggul, seni memakai hijab dan hairdo. Ia mengharapkan ketrampilan itu memberi alternatif pilihan bagi para pekerja seks untuk menjalani profesi lain yang lebih diterima masyarakat misalnya kerja di salon atau memberi layanan tata rias wisuda atau pesta.
"Pada dasarnya teman-teman telah memiliki kemampuan untuk melakukan make up untuk diri sendiri. Adanya pelatihan make up artist ini akan memberikan pelajaran tata rias lebih spesifik lagi dimana materi ketrampilan itu bisa dipakai untuk mencari pekerjaan alternatif atau untuk mencari rejeki yang lainnya selain menjadi PS (Pekerja Seks),” kata Wahyu Dewi.
Pada kesempatan itu juga ada peserta program Peduli PKBI yang ikut bergabung dalam pelatihan pemularassan jenazah termasuk Ririn dari Banjarmasin.
“Pemulasaraan jenazah kan hanya disini dipelajarinya. Soalnya, seorang waria apabila ia meninggal kan kadang-kadang masyarakat malas untuk ikut mengurus jenazahnya. Nah, kalau dari komunitas waria ada yang bisa kan dari komunitas waria itu bisa saling membantu,” tukas Ririn.
Dian dari Makassar mengatakan ia merasa nyaman dengan penerimaan lingkungan pesantren terhadap kaum waria seperti dirinya selama ia tinggal di Yogyakarta.
“Kami disambut dengan ramah oleh anak-anak santri beserta para ustadznya. Bahkan disini saya melaksanakan shalat sesuai dengan jati diri saya sendiri sebagai waria. Disini juga belajar pijak refleksi, pemandian jenazah untuk teman-teman waria dan itu tidak ada di kota lain,” tutur Dian.
Your browser doesn’t support HTML5
Suasana pesantren Al Fatah petang itu menjadi semakin semarak dengan kunjungan rombongan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang selain silaturahmi juga menyumbangkan buku-buku Iqra’ tentang cara membaca huruf Al Quran dan buku-buku tentang tuntunan shalat. (ms/em)