Para peserta karya wisata pluralitas beragama dan keberagaman budaya Amerika-Indonesia bertolak ke Amerika, Minggu (17/6).
Empat mahasiswa Universitas Michigan dan Universitas Lehigh, Amerika Serikat bersama empat rekan mereka dari Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada, hari Minggu (17 Juni 2012) meninggalkan Yogyakarta menuju Amerika Serikat. Mereka adalah para peserta program pertukaran mahasiswa dan karya wisata mengenai pluralitas agama dan keberagaman budaya (Undergraduate Exchange and Study Trip on Religious Plurality and Multiculturalism).
Program ini mulai diselenggarakan sejak tahun 2011, dan berlangsung selama dua pekan di masing-masing negara. Tahun ini, ke-8 peserta telah menyelesaikan karya-wisata mereka di Indonesia, dan akan melanjutkan program mereka di Amerika, hingga tanggal 4 Juli, sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan Amerika di Washington DC.
Profesor Lloyd Ferren dari Universitas Lehigh yang mendampingi para mahasiswa mengatakan, karyawisata tersebut bertujuan mendorong mahasiswa belajar bagaimana demokrasi menjadikan penganut agama berbeda bisa hidup berdampingan.
“Program ini dibuat untuk membantu mahasiswa Amerika untuk belajar lebih lanjut tentang budaya Indonesia, khususnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, dan membantu mahasiswa Indonesia memahami bagaimana kehidupan beragama di Amerika,” ungkap Prof. Llyod Ferren.
Selama di Indonesia, para peserta pertukaran mahasiswa ini melakukan serangkaian kunjungan ke sejumlah pusat-pusat kegiatan agama. Mereka bertemu dengan para tokoh agama dan berdiskusi antar umat beragama serta belajar tentang seni dan budaya.
Di Yogyakarta, kegiatan mereka antara lain berdiskusi dengan pemuda wakil dari lima agama. Selain itu, mereka juga berkesempatan untuk berdiskusi dengan musisi anggota Yogya Hip Hop foundation, tokoh Reformasi Amin Rais, Alisa Wahid, kelompok Gusdurian dan Direktur Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq.
Fajar Riza Ul Haq menyampaikan harapannya agar program ini bisa mengikis pemahaman yang kurang tepat mengenai kedua negara. “Harapan saya, program ini bisa mengikis persepsi negatif diantara masyarakat kedua negara yang selama ini ada, dengan cara bertemu langsung”, kata Direktur Maarif Institute. “Yang kedua, bisa meningkatkan persepsi yang positif ke-level yang lebih baik lagi, sehingga kedepan mereka bisa bekerjasama apakah sebagai pemimpin masyarakat maupun pemimpin negara,” tambahnya.
Para peserta mengaku belajar banyak dari program pertukaran mahasiswa ini. Theresa Mejia, mahasiswa Universitas Lehigh mengatakan, melalui program ini ia mulai memahami agama-agama di Indonesia namun belum berani mengambil kesimpulan.
“Sebelum datang ke Indonesia, terus terang saya tidak faham mengenai Indonesia. Tetapi lebih aman jika saya katakan, pluralitas agama di Indonesia sangat berbeda dengan yang ada di Amerika,” kata Theresa.
Anggita Paramesthi dari Universitas Gajah Mada ingin belajar dari Amerika tentang hubungan antara pluralitas agama dan demokrasi. “(Saya ingin) mengetahui lebih jauh kompleksitas demokrasi dan hubungannya dengan pluralisme beragama. Formula apa yang paling tepat untuk menciptakan pluralisme dalam masyarakat yang baik. Saya berharap teman-teman di Amerika juga mengerti keunikan Indonesia dan saling menghormati”, demikian penuturan Anggita .
Dita, manajer Jogja Hip Hop foundation merasa senang bertukar pikiran dengan para mahasiswa kedua Negara. “Mungkin juga agar mereka paham bahwa kita senang sama budaya mereka, Hip Hop, dan kita kombinasikan dengan akar budaya kita”, kata Dita.
Program ini mulai diselenggarakan sejak tahun 2011, dan berlangsung selama dua pekan di masing-masing negara. Tahun ini, ke-8 peserta telah menyelesaikan karya-wisata mereka di Indonesia, dan akan melanjutkan program mereka di Amerika, hingga tanggal 4 Juli, sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan Amerika di Washington DC.
Profesor Lloyd Ferren dari Universitas Lehigh yang mendampingi para mahasiswa mengatakan, karyawisata tersebut bertujuan mendorong mahasiswa belajar bagaimana demokrasi menjadikan penganut agama berbeda bisa hidup berdampingan.
“Program ini dibuat untuk membantu mahasiswa Amerika untuk belajar lebih lanjut tentang budaya Indonesia, khususnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, dan membantu mahasiswa Indonesia memahami bagaimana kehidupan beragama di Amerika,” ungkap Prof. Llyod Ferren.
Selama di Indonesia, para peserta pertukaran mahasiswa ini melakukan serangkaian kunjungan ke sejumlah pusat-pusat kegiatan agama. Mereka bertemu dengan para tokoh agama dan berdiskusi antar umat beragama serta belajar tentang seni dan budaya.
Di Yogyakarta, kegiatan mereka antara lain berdiskusi dengan pemuda wakil dari lima agama. Selain itu, mereka juga berkesempatan untuk berdiskusi dengan musisi anggota Yogya Hip Hop foundation, tokoh Reformasi Amin Rais, Alisa Wahid, kelompok Gusdurian dan Direktur Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq.
Fajar Riza Ul Haq menyampaikan harapannya agar program ini bisa mengikis pemahaman yang kurang tepat mengenai kedua negara. “Harapan saya, program ini bisa mengikis persepsi negatif diantara masyarakat kedua negara yang selama ini ada, dengan cara bertemu langsung”, kata Direktur Maarif Institute. “Yang kedua, bisa meningkatkan persepsi yang positif ke-level yang lebih baik lagi, sehingga kedepan mereka bisa bekerjasama apakah sebagai pemimpin masyarakat maupun pemimpin negara,” tambahnya.
Para peserta mengaku belajar banyak dari program pertukaran mahasiswa ini. Theresa Mejia, mahasiswa Universitas Lehigh mengatakan, melalui program ini ia mulai memahami agama-agama di Indonesia namun belum berani mengambil kesimpulan.
“Sebelum datang ke Indonesia, terus terang saya tidak faham mengenai Indonesia. Tetapi lebih aman jika saya katakan, pluralitas agama di Indonesia sangat berbeda dengan yang ada di Amerika,” kata Theresa.
Anggita Paramesthi dari Universitas Gajah Mada ingin belajar dari Amerika tentang hubungan antara pluralitas agama dan demokrasi. “(Saya ingin) mengetahui lebih jauh kompleksitas demokrasi dan hubungannya dengan pluralisme beragama. Formula apa yang paling tepat untuk menciptakan pluralisme dalam masyarakat yang baik. Saya berharap teman-teman di Amerika juga mengerti keunikan Indonesia dan saling menghormati”, demikian penuturan Anggita .
Dita, manajer Jogja Hip Hop foundation merasa senang bertukar pikiran dengan para mahasiswa kedua Negara. “Mungkin juga agar mereka paham bahwa kita senang sama budaya mereka, Hip Hop, dan kita kombinasikan dengan akar budaya kita”, kata Dita.