Sungai Mahakam yang membentang sepanjang 920 kilometer di Kalimantan merupakan habitat lumba-lumba air tawar yang dikenal dengan sebutan pesut Mahakam. Penelitian terakhir pada 2019 menunjukkan, jumlah mamalia air ini telah menyusut dan kini tersisa 81 ekor.
Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) menyebutkan alat tangkap ikan yang disebut rengge menjadi penyebab utama kematian lumba-lumba air tawar, atau pesut Mahakam di Kalimantan Timur. Kontribusinya sekitar 66 persen dari berbagai ancaman yang dihadapi mamalia air tersebut.
Penelitian RASI periode 2018-2019 memperkirakan populasi pesut Mahakam tersisa 81 ekor atau menurun dari jumlah 88 ekor pada 2005.
“Untuk alasan penyebab mati, kebanyakan mati di dalam jaring nelayan, jadi 66 persen. Untuk tahun 2018 ada penyebab kematian lain diduga pesut banyak yang mati habis makan ikan yang diracuni,” jelas Peneliti Yayasan Konservasi RASI, Danielle Kreb, dalam diskusi webinar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Iktiologi Indonesia, Sabtu (4/7).
Penelitian yang sama menyebutkan, lalu-lintas kapal berkontribusi sekitar 10 persen dalam kematian pesut Mahakam.Sejumlah kapal diketahui menabrak mamalia ini dan mengakibatkan cedera berat yang memicu kematian.
“Untuk jumlah populasi, riset terakhir kami mengidentifikasi tersisa kurang lebih 81 ekor. Pada tahun 2005 masih ada 88 ekor,” kata Danielle Kreb yang juga adalah dosen luar biasa pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Mulawarman.
Pesut Mahakam atau irrawaddy dolphin adalah lumba-lumba yang sepanjang masa hidupnya berada di habitat air tawar sungai Mahakam. Memiliki nama latin orcaella brevirostris, mamalia air tawar itu merupakan salah satu dari tujuh jenis lumba-lumba air tawar di sungai-sungai di Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Pesut Mahakam memiliki ciri kepala berbentuk bulat dan ukuran mata yang kecil tanpa ada moncong seperti pada lumba-lumba lain.
Reproduksi pesut dimulai saat betina berusia antara delapan hingga sembilan tahun dengan tingkat kelahiran satu anak setiap 2,5 hingga tiga tahun. Ikan itu biasa berenang dengan kecepatan lima km/jam namun bisa bisa bergerak hingga kecepatan 20 km/jam saat mengilir sungai. Pesut Mahakam diketahui menghabiskan 65 persen waktunya untuk mencari makan di anak-anak sungai dan muara.
M. Alimin Azarbaijan, ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara kepada VOA, Senin (6/7) mengatakan warga sudah dilarang untuk membentangkan jaring penangkap ikan di badan sungai untuk mencegah pesut tersangkut di dalamnya.
“Jadi kami dari pemerintahan desa itu sedang mencanangkan peraturan desa dan peraturan kepala desa, bagi nelayan yang khususnya warga Pela itu tidak boleh membentangkan alat-alat nelayan seperti rengge itu, karena menghalangi lalu lintas dari pesut itu” kata Alimin.
Alimin mengungkapkan sesungguhnya ada kesadaran dari warga di desa itu terhadap arti penting pesut. Kehadiran pesut menjadi penanda keberadaan ikan yang banyak.
Bersama pemerintah desa upaya lain dilakukan dengan melakukan kegiatan razia terhadap para pelaku yang menangkap ikan dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
“Kami juga dari kelompok sadar wisata menjaga betul (eksistensi) pesut. Kami sering merazia para penjarah-penjarah ikan yang tidak ramah lingkungan. Karena yang penjarah-penjarah ikan itu dari luar desa Pela yang masih menggunakan alat tangkap seperti setrum dan racun, kalau ikan sudah habis, otomatis pesut makan apa lagi,” jelas Alimin.
Sebelum wabah virus corona, desa Pela menjadi tempat wisatawan dalam dan luar negeri untuk melihat aktivitas pesut dari dekat. Wisatawan menyewa perahu panjang (longboat) untuk mengikuti pesut berenang lambat di aliran sungai Pela menuju danau Semayang. Kehadiran wisatawan tersebut sekaligus memberikan pemasukan ekonomi bagi warga di desa tersebut. Selain di danau semayang, biota pemakan ikan dan udang air tawar itu juga dapat dijumpai di perairan Danau Jempang dan danau Melintang.
Ancaman Sampah Plastik
Yayasan Konservasi RASI berupaya mengedukasi warga yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai Mahakam untuk tidak membuang sampah rumah tangga, khususnya plastik ke sungai, terutama di kawasan yang menjadi habitat utama pesut di Kecamatan Muara Kaman, Kota Bangun, Muara Wis dan Muara Muntai. Penelitian melalui wawancara terhadap 450 warga yang tinggal di rumah atas rakit, di tiga kecamatan, mengindikasikan setidaknya 300 ribu tas plastik dibuang ke sungai tiap tahunnya.
“RASI telah melakukan sosialisasi dan meminta tolong agar warga mau berubah, tidak membuang sampah langsung ke sungai. Untuk solusinya sementara ini diberikan drum (tong) sampah yang bisa dibakar. Itu tidak ideal juga. Kami harapkan ke depan pemerintah bisa menawarkan solusi yang berkelanjutan,” kata Danielle Kreb.
Your browser doesn’t support HTML5
RASI membagikan bantuan berupa 300 drum sampah kepada warga agar dapat membakar sampah plastik ketimbang membuangnya langsung ke sungai. Satu tong dapat mengurangi 666 lembar tas plastik per tahun masuk ke sungai. Keberadaan sampah di dasar sungai menurutnya mengganggu aktivitas pesut yang mengandalkan sonar untuk mencari mangsa, mengorientasi lingkungan dan berkomunikasi.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati nomor 75 Tahun 2020 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Habitat Pesut Mahakam seluas 43.117 hektar yang meliputi sungai, danau rawa dan sempadan sungai. Lahirnya Keputusan itu memberikan harapan bagi upaya pelestarian pesut Mahakam yang populasinya semakin berkurang. Badan Konservasi Dunia (IUCN) menempatkan pesut Mahakam dalam status sangat terancam punah. [yl/ab]