Petani Harap Pemakaian Pupuk Organik Bisa Jadi Gerakan Nasional

Seorang buruh berdiri di dekat karung-karung pupuk di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Imbauan Presiden Joko Widodo kepada para petani untuk menggunakan dan membuat pupuk organik dinilai pengamat sulit berkembang. Pasalnya, pupuk tersebut hanya dilakukan di wilayah-wilayah tertentu, tidak menjadi gerakan nasional. 

Presiden Joko Widodo mengapresiasi para petani yang menggunakan pupuk organik. Hal tersebut disampaikan ketika mengunjungi percepatan tanam padi pasca panen, di Desa Senori, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Kamis (6/4).

Para petani padi yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI), kata Jokowi telah tiga tahun lamanya menggunakan pupuk organik dengan lahan yang mencapai 1.000 hektare. Menurutnya, ini sangat bagus karena biaya produksi bisa ditekan seefisien mungkin.

“Biaya untuk pupuk yang biasanya per hektare bisa sampai Rp5 juta, Rp 6juta per hektare, di sini hanya antara Rp100 ribu-Rp500 ribu per hektare. Ini yang saya kira kalau bisa dikembangkan di daerah yang lain seperti yang dilakukan oleh SPI, ini akan banyak mengurangi cost yang harus dikeluarkan oleh petani dan tidak ketergantungan pada pupuk-pupuk kimia, tergantung pada impor bahan baku pupuk kimia yang sekarang ini terjadi, sehingga jangan sampai ada keluhan “Wah pupuknya sulit” ya memang sulit, semua negara urusan pupuk memang sulit, tetapi ada pilihan dan ini sudah dimulai oleh SPI,” ungkap Jokowi.

Menurutnya, pemakaian pupuk alami tidak hanya bermanfaat dalam menurunkan biaya produksi, namun juga berdampak pada meningkatnya produksi dan memperbaiki lingkungan. Presiden menginstruksikan kepada Kementerian Pertanian untuk menggalakkan pemakaian pupuk organik di kalangan petani di seluruh tanah air.

“Saya tadi sudah perintahkan ke Kementan, untuk dikembangkan di provinsi lain, bukan hanya di Jawa Timur. Tetapi problemnya memang petani harus memiliki paling tidak satu keluarga dua ekor sapi, di sini sudah. Di daerah lain tugasnya Kementan untuk mencukupi itu, sehingga bisa dipakai untuk membikin pupuk organik,” tuturnya.

BACA JUGA: Setahun Perang Rusia-Ukraina dan Krisis Pupuk yang Mendera Indonesia

Harus Jadi Program dan Gerakan Nasional

Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) Ahmad Yakub mengatakan memang gerakan untuk memakai dan membuat pupuk organik di kalangan petani sebenarnya sudah berlangsung sekitar lima tahun. Namun, gerakan tersebut sulit berkembang karena hanya dilakukan oleh petani di wilayah-wilayah tertentu. Seharusnya, ujar Ahmad, jika pemerintah ingin memasifkan penggunaan pupuk alami tersebut, imbauan Presiden Jokowi harus menjadi gerakan nasional.

“(Selama ini) Dia spasial, hanya di spot-spot tertentu. Misalnya, di Kementan hanya menyediakan sertifikasi organik misalnya mempermudah, mendorong, memperkenalkan good agriculture practice, dan seterusnya, tetapi tidak menjadi program nasional yang besar, dia hanya spot-spot tertentu. Ketika sampai di Pemda pun, dinas pertanian belum tentu menyambutnya, tergantung kepedulian pemda. Harapannya, arahan Presiden yang sudah beberapa kali disampaikan ini menjadi gerakan nasional,” ungkap Ahmad.

Selain itu, Ahmad mempertanyakan grand design dari pemerintah sendiri terkait hal ini. Pasalnya, ia melihat tidak ada kebijakan yang mendukung imbauan dari Presiden Jokowi terkait pupuk organik.

Grand design-nya seperti apa? Karena subsidi di tahun 2023 untuk pupuk organik ditiadakan. Dia hanya subsidinya untuk pupuk urea dan NPK. Itu pun dibatasi untuk pertanian padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi dan kakau, dan akhirnya sisanya tidak diberikan subsidi,” katanya.

BACA JUGA: Di Tengah Kenaikan Harga, Sejumlah Petani Beralih ke ‘Pertanian Karbon’ yang Ramah Lingkungan

Selain itu, ada dua kendala yang bisa menghambat pekembangan penggunaan pupuk organik di kalangan petani. Pertama, katanya, terkait kebiasaan para petani yang sudah terbiasa memakai cara yang instan dengan menggunakan pupuk kimia.

“Secara culture petani kita yang sudah usia 40-50 tahun ke atas, sudah biasa instan, ketika butuh pupuk dia langsung beli, kalau dengan praktik agroekologis, ini petani harus mengubah culture yang instan ini menjadi berproses, misalnya harus menyiapkan pestisida alami dan sebagainya,” jelasnya.

Kedua, adalah culture tersebut harus berbanding lurus dengan ketersediaan bahan-bahan alami untuk membuat pupuk organik tersebut yang menurutnya sudah mulai langka di beberapa daerah.

Seorang petani membawa sekantong pupuk sementara Gunung Agung mengeluarkan asap dari Desa Sidemen, Karangasem, Bali. (Foto: dok. Antara/Nyoman Budhiana via REUTERS)

“Jadi petani akhirnya tidak bisa sendirian, harus didukung oleh lingkungan pedesaan, lingkungan bisnis, lingkungan usaha tani, yang terintegrasi. Jadi pemeirntah ketika Presiden mendorong pemakaian pupuk organik, apa tindak lanjut desain di sebuah daerah untuk jangka pendek, menenngah, dan panjang?,” katanya.

“Kemudian penegakkan UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Ketika sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan harus ada konsekuensi , tidak boleh dikonversi menjadi nonpertanian, tidak boleh irigasi dirusak, dan harus ada insentif tertentu dari pemerintah seperti insentif harga, asuransi pertanian,” tutur Ahmad.

BACA JUGA: Jokowi Dengarkan Keluhan Petani Soal Anjloknya Harga Gabah di Musim Panen Raya

Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara (GPN) Suryo Wiyono berharap pemerintah ke depan dapat memberikan pelatihan kepada para petani untuk membuat pupuk organik tersebut. Ini, katanya, penting untuk dilakukan karena selama ini kebanyakan petani masih menjadikan pupuk kimia menjadi tumpuannya bertani.

“Saya kira petani perlu diberi pelatihan untuk pembuatan pupuk organik dengan cara yang mudah dan masuk akal, dan yang scientific,” kata Suryo.

Sejauh ini ia belum melihat adanya upaya yang strategis dan besar dari pemerintah terkait dengan pengembangan pemakaian pupuk organik di kalangan petani, sehingga kelangkaan pupuk memang seringkali terjadi.

Meski begitu, GPN sudah mengembangkan dan menggunakan pupuk organik hingga 50 persen. Menurutnya, hasil penggunaan pupuk alami ini sudah terbukti jauh lebih baik dibandingkan dengan pemakaian pupuk kimia.

“Kalau tadi pupuk sintetik bisa dikurangi sampai 50 persen, dengan penggunaan pupuk organik plus mikroba, itu pada musim tanam 1 produksinya tinggi dibandingkan yang konvensional full pupuk kimia, musim selanjutnya meningkat lagi. Jadi, kita punya cukup bukti nyata di lapangan bahwa memang ini bukan hanya teori,” katanya.

“Kalau musim pertama meningkat 15 persen, musim panen ke dua meningkat 20 persen, musim ketiga 23 persen,” pungkasnya. [gi/ka]