Di kota-kota yang padat penduduknya, seperti Washington DC, warga kerap kali tidak memiliki tempat untuk bercocok tanam tanaman pangan mereka, selain melakukan penanaman secara vertikal. Pertanian vertikal ini adalah salah satu dari konsep pertanian di perkotaan yang dipamerkan di Urban Food Hub di University of the District of Columbia.
Thomas Wheet, koordinator riset bidang pertanian dan kewirausahaan di universitas itu mengemukakan,“Lingkungan pertanian yang terkontrol dapat menumbuhkan tanaman pangan 3 hingga 10 kali per meter persegi lebih banyak daripada pertanian tradisional. Kami juga bercocok tanam di lingkungan yang iklimnya terkendali, jadi kami tidak tertekan oleh hama, sehingga ini mengurangi kebutuhan untuk menyemprotkan pestisida dan herbisida. Jadi, tidak ada limpasan zat-zat gizi, tidak ada limpasan bahan kimia dari tempat-tempat seperti ini.”
Semua bahan makanan yang dibudidayakan di sana didonasikan ke berbagai LSM dan bank-bank makanan setempat. Dengan mendistribusikan secara lokal, ini berarti juga mengurangi dampak penggunaan bahan bakar dan limbah makanan terhadap lingkungan hidup.
Leonard Githinji adalah dosen dalam bidang pertanian perkotaan dan berkelanjutan di Virginia State University. Ia mengemukakan,“Rata-rata di AS, jarak yang ditempuh makanan hingga ke konsumen bisa 1.500 hingga 2.000 mil. Kalau kita tambahkan semua mil dari seluruh makanan di piring kita, ini sangatlah banyak.”
Your browser doesn’t support HTML5
Para pakar menyatakan siapapun dapat mulai menanam tanaman pangan di dalam atau di luar rumahnya. Yang diperlukan hanyalah sinar matahari, sedikit ruang, dan sejumlah kesabaran. Bahkan balkon di apartemen pun dapat dimanfaatkan.
Githinji dari Virginia State University menambahkan,“Anda tinggal menyesuaikan apa saja yang ingin Anda tanam dengan banyaknya sinar matahari yang Anda dapatkan. Jadi apabila Anda mendapatkan sinar matahari 6 jam lebih, 6, 7, 8 jam atau lebih, maka Anda dapat menanam tomat, cabe. Kalau Anda tidak mendapatkan sinar matahari sebanyak itu, Anda dapat mulai memikirkan tanaman sayuran daun, lobak Swiss, bayam, hal-hal seperti itu.”
Populasi global diperkirakan melampaui 9 miliar pada tahun 2050, dan ketika itu, dua per tiganya diperkirakan tinggal di kawasan perkotaan.
Thomas Wheet dari University of the District of Columbia mengemukakan, “Saya melihat kita hampir revolusioner, bukan. Kita merevolusi cara menanam tanaman pangan, di mana tempat menanamnya, dan siapa yang memiliki akses ke sana.”
Sebagaimana yang dikatakan mereka, pertanian di perkotaan bukanlah keisengan belaka, melainkan suatu keharusan. [uh/lt]