Para petani merica di Desa Ranteangin dan Loeha, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali konsesi perusahaan PT VALE Indonesia, khususnya di Blok Tanamalia. Mereka juga meminta pemerintah mengeluarkan blok tersebut dari konsesi perusahaan tambang nikel tersebut.
Blok Tanamalia merupakan wilayah perkebunan merica masyarakat, serta masih masuk dalam kawasan hutan hujan yang dihidupi oleh berbagai macam flora-fauna dan memiliki nilai serta jasa lingkungan yang tinggi.
“Nah dengan hadirnya PT VALE perluasan wilayah tambang dan sudah berjalan satu tahun lebih aktivitas eksplorasi, maka teman-teman petani Loeha Raya merasa terancam. Mereka merasa terancam dengan bagaimana keberlanjutan Lada (merica-red) ini untuk generasi-generasi berikutnya,” kata Yahya Muchtar, petani merica asal Desa Ranteangin dalam konferensi pers secara daring di Kanal YouTube WALHI Sulawesi Selatan, Jumat (6/10) pada pekan lalu.
Pasalnya, lanjut dia, pertanian komoditas lada akan sulit dijalankan apabila aktivitas pertambangan di sekelilingnya terus berlanjut.
Menurut Yahya, terdapat 4.239 hektare kebun merica yang terancam digusur untuk kebutuhan ekspansi tambang nikel, padahal kebun merica tersebut menjadi sumber kehidupan utama hidup mereka.
Petani merica lainnya, Ali Kamri Nawir, mengatakan perkebunan merica menjadi mata pencaharian utama ribuan keluarga di Tanamalia. Lahan seluas satu hektare bisa ditanami seribu tanaman yang bisa menghasilkan 2,5 sampai 3 ton per tahun. Pada masa panen, ujarnya, akan tersedia banyak lapangan kerja, mulai dari pemetikan hingga pengangkutan.
“Jadi total penerimaan tenaga kerja per tahun itu, kurang lebih kalau lima desa itu 35.000 sampai 40.000 tenaga kerja, dengan gaji per hari rata-rata Rp100.000,” kata Ali Kamri.
Bercocok tanam merica sudah dilakukan secara turun temurun sehingga masyarakat berpendapat sangat tidak adil bila harus kehilangan mata pencaharian mereka karena pertambangan nikel.
“Ketika pemerintah, dalam hal ini instansi yang terkait, tidak mengindahkan permintaan kami, dan dia lebih memilih investasi daripada rakyatnya sendiri, itu artinya kami digalikan kuburan untuk masyarakat Loeha Raya di sana, karena kami tidak akan pernah mundur dalam bercocok tanam lada di Tanamalia,” tegas Ali Kamri.
Fatmawati asal Desa Rante Angin mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak kerusakan lingkungan yang dapat terjadi akibat kegiatan penambangan. Pembukaan lahan untuk penambangan akan merusak hutan yang mengancam keberlanjutan mata air dari pegunungan yang menjadi andalan warga setempat dalam mendapatkan air bersih yang layak konsumsi. Menurut Fatmawati, masyarakat tidak lagi dapat menggunakan air dari Danau Towuti karena telah tercemar.
“Sedangkan danau kita ini sebenarnya sudah dicemari limbah, limbahnya PT Vale ini yang tidak layak lagi untuk dikonsumsi, maka yang kami pakai untuk hidup di sana itu air dari pegunungan. Nah, jika ketika itu juga sudah tercemari, kami mau cari sumber air di mana lagi?” kata Fatmawati.
Tuntutan Petani
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, mengatakan sebanyak 3.200 keluarga petani merica menginginkan lahan perkebunan merica seluas 4.239 hektare dan kawasan hutan seluas 17 ribu hektare dilepaskan dari wilayah konsesi perusahaan tambang tersebut.
Sejak 1968, PT Vale Indonesia Tbk memperoleh konsesi seluas 17.776,78 hektare di wilayah Tanamalia. atau 15 persen dari seluruh konsesi perusahaan tersebut di tiga provinsi yang mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Your browser doesn’t support HTML5
“Mereka hanya meminta supaya lahan ini, kebun merica ini beserta hutan yang ada di sekitarnya itu dilepaskan dari konsesi VALE. 15 persen dari dari 118.000 hektare itu tidak ada bandingnya,” tegas Al Amin.
Sedangkan dalam konteks lingkungan, menurut Amin, di Blok Tanamalia terdapat 25 ribu hektare luasan hutan, 17 ribu hektare di antaranya menjadi wilayah konsesi pertambangan. Akibatnya jika hutan-hutan itu dibabat untuk aktivitas penambangan nikel, maka akan berdampak serius pada hilangnya sumber-sumber mata air dan habitat flora dan fauna.
BACA JUGA: Aliansi Sulawesi: Hilirisasi Nikel Cenderung Merugikan Ketimbang Menguntungkan“Tanamalia adalah lintasan bagi flora endemik Sulawesi seperti anoa dan burung-burung endemik, burung rangkong dan lain sebagainya. Laju kerusakan hutan, deforestasi akan makin meningkat. Dan sungai-sungai, 15 sungai besar yang bermuara ke Danau Towuti, kami duga akan terpapar logam berat atau terpapar polusi. Nah ini juga membahayakan bagi kehidupan masyarakat sekitar,” papar Al Amin.
PT VALE Indonesia tidak merespons permintaan tanggapan yang dikirim melalui e-mail pada Senin (9/10) terkait desakan para petani dan WALHI Sulawesi Selatan itu. [yl/ah]