Petani Sawit Indonesia: Penundaan Implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa Tak Perlu

Sebuah perkebunan kelapa sawit di Sepaku, Kalimantan Timur (foto: ilustrasi).

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengonfirmasi usulan penundaan selama satu tahun bagi implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada Rabu (2/10). Jika disetujui oleh Parlemen dan Dewan Eropa, EUDR baru akan berlaku pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan 30 Juni 2026 untuk perusahaan mikro dan kecil. Padahal jika tidak ditunda, peraturan ini akan berlaku pada akhir tahun ini.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menegaskan, penundaan ini tidak perlu dilakukan. Regulasi ini sendiri mulai berlaku pada 29 Juni 2023 lalu, dan memberikan waktu 18 bulan bagi pelaku usaha untuk melakukan persiapan.

“Para pelaku usaha, khususnya perusahaan kelapa sawit dari negara produsen seperti Indonesia, telah melakukan penyesuaian ketentuan EUDR. Beberapa perusahaan telah menyiapkan koordinat atau informasi poligon area tanamnya atau area tanam geospasial. Artinya, perusahaan-perusahaan tersebut siap untuk mematuhi EUDR,” kata Sabarudin Ketua Umum SPKS dalam pernyataan yang diterima VOA.

Sabarudin justru mengatakan, EUDR perlu segera diperkuat dengan pendanaan langsung yang substansial dan aturan yang lebih jelas mengenai dukungan dari Uni Eropa dan perusahaan rantai pasok kepada petani kelapa sawit.

“Anggota petani SPKS berkomitmen untuk bebas deforestasi dan berkomitmen untuk masuk ke rantai pasok UE, oleh karena itu dukungan dan pendanaan dari Uni Eropa dan perusahaan untuk membantu petani memenuhi aturan EUDR sangat dibutuhkan,” tambah dia.

BACA JUGA: Indonesia Prihatin Soal Regulasi UU Deforestasi Uni Eropa yang Dinilai Mendiskriminasi Industri Minyak Sawit 

Sabarudin menilai, selama ini dukungan dan pendanaan untuk petani sangat minim. Karena itulah, Uni Eropa perlu segera memperkuat sistem untuk mendukung dan mendanai petani.

“Selain itu, Uni Eropa perlu memastikan keterlibatan produksi petani dalam sistem rantai pasok ke pasar mereka. Dukungan dari operator dan perusahaan untuk memastikan keterlibatan petani dalam rantai pasoknya harus dilakukan

dengan memperkuat sistem ketertelusuran, seperti dukungan dalam pembuatan poligon petani dan titik koordinat,” kata Sabarudin.

Sementara itu, AFP melaporkan bahwa Komisi Eropa pekan lalu memang telah mengusulkan penundaan selama satu tahun, larangan impor produk yang menyebabkan deforestasi. Penundaan ini diusulkan karena EUDR menghadapi penolakan dari berbagai negara.

Namun, usulan tersebut memicu protes langsung dari kelompok lingkungan, yang memuji undang-undang yang belum pernah dibuat sebelumnya itu, sebagai terobosan besar dalam perjuangan untuk melindungi alam dan iklim.

Undang-Undang tersebut, akan melarang berbagai macam komoditas, mulai dari kopi hingga kakao, kedelai, kayu, minyak sawit, ternak, kertas cetak, dan karet, jika diproduksi menggunakan lahan yang telah pohonnya ditebang setelah Desember 2020.

Namun, badan eksekutif tertinggi UE menghadapi tekanan yang meningkat untuk menunda larangan tersebut, setelah mitra dagang dari Brasil hingga Amerika Serikat dan bahkan negara besar Eropa seperti Jerman menentangnya.

Tindakan Vandalisme Alam

Menurut data WWF, impor UE bertanggung jawab atas 16 persen deforestasi global.

Hutan menyerap karbon, dan merupakan elemen penting dalam memerangi perubahan iklim. Hutan juga penting untuk kelangsungan hidup tumbuhan dan hewan yang terancam punah, seperti orangutan dan gorila dataran rendah.

Kelompok lingkungan Mighty Earth menggambarkan penundaan yang diusulkan sebagai “tindakan vandalisme alam”.

“Menunda, seperti membuang alat pemadam kebakaran dari jendela gedung yang terbakar,” kata direktur kebijakan senior Mighty Earth, Julian Oram.

Greenpeace menyebut penundaan itu “tidak dapat dimaafkan”.

Kepala UE, Ursula von der Leyen “mungkin juga menggunakan gergaji mesin itu sendiri”, tambah mereka.

BACA JUGA: Sawit Bebas Deforestasi: Praktik Anti-Tamak Petani Dayak

Berbagai Seruan Penundaan

Jerman menjadi negara terakhir yang menyerukan penundaan peluncuran pada bulan September, dengan mengatakan bahwa kondisinya belum memungkinkan agar undang-undang tersebut dapat diterapkan secara efisien.

Brasil, Amerika Serikat, dan negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mengeluhkan bahwa aturan tersebut meningkatkan biaya produksi dan ekspor, terutama bagi petani kecil.

Yang lain keberatan bahwa, dengan hanya beberapa bulan tersisa, UE belum mengeluarkan pedoman kepatuhan yang dijanjikan serta sistem pembandingan yang jelas untuk membagi negara-negara ke dalam kategori risiko yang berbeda.

Komisi tersebut menanggapi kekhawatiran terakhir pada Rabu pekan lalu, dengan menerbitkan dokumen yang menurutnya akan memberikan kejelasan tambahan kepada perusahaan dan otoritas penegak hukum, serta metodologi yang akan digunakan untuk sistem pembandingan.

Sebagian besar negara di seluruh dunia akan diklasifikasikan sebagai “berisiko rendah”, katanya.

Perbedaan Pendapat

Nguyen Xuan Loi, pimpinan eksportir kopi Vietnam, An Thai Group, memuji penundaan tersebut sebagai “langkah positif”.

“Pada kenyataannya, Vietnam telah mengelola masalah deforestasi dengan ketat,” katanya kepada AFP.

“Hampir tidak ada pelanggaran lag,” tambah dia.

Ada juga keringanan di beberapa sektor di Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, yang juga dikenal sebagai pendorong utama deforestasi.

“Seruan kami telah didengarkan,” kata Eddy Martono, ketua asosiasi minyak kelapa sawit kepada AFP.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengatakan bahwa mereka “tidak dapat membayangkan seberapa banyak lagi pembukaan lahan atau deforestasi yang dapat disebabkan oleh penundaan satu tahun di Kalimantan Barat dan tempat-tempat lain seperti Papua”.

Mengapa EUDR Penting

Berdasarkan EUDR, perusahaan yang mengimpor barang komoditas ke 27 negara anggota UE, akan bertanggung jawab melacak rantai pasokan mereka untuk membuktikan bahwa barang tersebut tidak berasal dari kawasan hutan yang ditebang, dengan mengandalkan data geolokasi dan satelit.

Negara pengekspor yang dianggap berisiko tinggi akan dikenakan pemeriksaan terhadap sedikitnya sembilan persen produk yang dikirim ke UE.

Namun, rencana penundaan undang-undang tersebut belum disetujui oleh Parlemen Eropa dan negara-negara anggota. [ns/ab]